Nasional • 3 months ago
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim lagi-lagi membuat gebrakan. Kali ini melalui Permendikbud-Ristek Nomor 53/2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Mas Menteri, demikian sapaannya, mengeluarkan aturan baru terkait dengan skripsi mahasiswa S-1 dan publikasi ilmiah bagi mahasiswa S-2/S-3.
Dalam aturan itu disebutkan bahwa mahasiswa bisa membuat tugas akhir dalam bentuk bukan hanya skripsi, tapi juga dapat berwujud proyek, prototipe, atau bentuk lain yang dikerjakan secara individu maupun kelompok.
Adapun mahasiswa program magister, magister terapan, doktor, ataupun doktor terapan tetap wajib diberi tugas akhir, tetapi tidak wajib terbit di jurnal.
Menurut Menteri Nadiem, aturan baru ini sebagai bagian dari program Merdeka Belajar yang digagasnya. Baginya, ukuran kompetensi seseorang tidak hanya lewat penulisan ilmiah. Kendati demikian, Nadiem menyerahkan implementasi keputusan yang tidak mewajibkan skripsi dan publikasi di jurnal tersebut kepada tiap-tiap perguruan tinggi.
Keputusan ini tentu disambut dengan tanggapan beragam. Sejumlah kalangan mengkritik kebijakan Mendikbud-Ristek menghapus kewajiban menulis skripsi dan publikasi ini. Umumnya para pengkritik menilai penghapusan kewajiban ini membuat mahasiswa menjadi malas untuk menulis artikel atau tulisan ilmiah.
Apalagi kampus-kampus kini terus menggenjot mahasiswa dan dosennya melakukan publikasi di jurnal bereputasi agar institusinya bisa bersaing di kawasan nasional maupun regional. Sebagaimana diketahui, salah satu indikator produktivitas perguruan tinggi berkualitas ialah banyaknya publikasi ilmiah terutama hingga level internasional.
Walaupun kualitasnya perlu ditingkatkan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud-Ristek pada 2021 mencatat jumlah publikasi ilmiah Indonesia mencapai 50.000. Angka itu sekaligus mendongkrak peringkat publikasi ilmiah Indonesia dari peringkat 56 dunia ke peringkat 21 dunia.
Kewajiban dosen-dosen di kampus ialah menggembleng mahasiswa yang ingin menjadi akademisi maupun periset untuk menulis secara sistematis dan menerbitkannya di jurnal.
Meski begitu, akibat kewajiban publikasi di jurnal ini, tak jarang anggota sivitas akademika terjerat dalam jurnal-jurnal palsu dan predator. Kampus pun perlu terus mengajarkan mahasiswanya untuk tidak melakukan plagiarisme yang bukan saja haram di dunia akademik, tapi juga di dunia profesional kerja.
Yang jadi soal, dunia pendidikan terutama kampus tidak harus membuat seluruh lulusannya memiliki keahlian menulis ataupun riset yang tinggi. Hak mahasiswa untuk memilih apakah dirinya ingin menjadi akademisi/periset dengan kemampuan menulis yang mumpuni atau menjadi praktisi yang memiliki skill yang bisa diandalkan di tempat dirinya bekerja kelak. Tugas perguruan tinggi melahirkan lulusan dengan ragam keahlian tersebut.
Kita tentu tidak ingin kewajiban menulis skripsi untuk mahasiswa S-1 maupun publikasi di jurnal untuk mahasiswa S-2 dan S-3 justru menghambat studi yang dijalani para mahasiswa. Para akademisi pun perlu memahami, selain untuk menambah pengetahuan, sering kali mahasiswa mengikuti pendidikan tinggi justru untuk mendapatkan jaringan kerja. Praktik seperti ini sudah lazim diterapkan di banyak negara yang sudah maju sistem pendidikannya seperti di Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan sejumlah negara di Asia lainnya.
Terlepas dari berbagai kontroversi dan kekurangannya, kita perlu mengapresiasi kebijakan Kemendikbud-Ristek membebaskan kewajiban mahasiswa S-1 menulis skripsi atau mahasiswa S-2/S-3 untuk publikasi jurnal. Selain bebas menentukan pilihan, kebijakan ini sekaligus bisa mengurangi tekanan mahasiswa dari para dosen yang ingin memanfaatkan kewajiban tersebut untuk kepentingan terselubung mereka.
Pasalnya, tak jarang sejumlah akademisi pemalas mencoba menitipkan namanya agar bisa dijadikan penulis kedua atau ketiga ketika publikasi ilmiah dilakukan. Kebijakan Nadiem ini merupakan tranformasi radikal pendidikan tinggi di Tanah Air. Pendidikan sejatinya membebaskan manusia menjadi dirinya sendiri, memanusiakan manusia. Pendidikan bukan menciptakan robot-robot yang memberhalakan formalitas tanpa memahami esensi sebagai insan akademik yang harus berguna bagi masyarakat.