Editorial Media Indonesia: Mengangkat Harkat dan Martabat Guru. Foto: Media Indonesia (MI)/Seno.
Media Indonesia • 26 November 2025 05:47
Usia negeri ini sudah mencapai 80 tahun, tetapi masih banyak persoalan yang relatif sama dari masa ke masa, dari generasi ke generasi. Kualitas pendidikan salah satunya.
Pada masa Orde Baru, banyak ditemukan siswa SD kelas 3 ke atas hingga SMP yang belum lancar membaca, terutama di perdesaan. Kini, tiga dekade sejak pertama kali ditetapkan program wajib belajar 9 tahun, persoalan sama persis masih muncul.
Direktur Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan Iwan Junaedi mendapati para murid kelas 3 di SDN Rawa Buntu, Jakarta, belum lancar membaca. Itu terjadi di Jakarta yang sampai saat ini masih menjadi ibu kota negara.
Dalam tahun ini pun bahkan di beberapa daerah ditemukan banyak siswa SMP yang belum lancar membaca. Jumlahnya bukan hanya puluhan, melainkan ratusan, bahkan mungkin sampai ribuan siswa.
Kualitas pendidikan tidak lepas dari kualitas tenaga pendidik alias
guru. Ada kata pepatah kuno yang juga diparafrasakan oleh Kiai Afifuddin Muhajir, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan pengasuh pondok pesantren. 'Tidak ada murid yang bodoh, hanya saja banyak murid yang belum beruntung mendapatkan guru yang baik'.
Kualitas guru memainkan peran yang besar untuk menjadikan murid pintar atau menemukan kepintaran mereka. Sayangnya, fokus guru terpecah. Di satu sisi, mereka bertugas mendidik murid menggali potensi diri, di sisi lain harus menghadapi beban ekonomi akibat minimnya upah atau gaji.
Komite Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyebut pada 2024 terdapat sekitar 2 juta guru honorer. Mereka kerap mendapatkan upah jauh di bawah upah minimum kabupaten/kota.
Menurut Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), nasib serupa juga dialami guru-guru swasta dan guru pendidikan anak usia dini (PAUD). Mereka hanya menerima Rp200 ribu-Rp500 ribu per bulan.
Guru mestinya merupakan profesi yang terhormat sekaligus bergengsi. Terhormat dipandang dari krusialnya fungsi guru mendidik generasi emas, sedangkan bergengsi ditunjukkan lewat jaminan kesejahteraan yang mampu menarik calon-calon guru berkualitas tinggi.
Jangan lagi ada kasus seperti yang dialami dua guru di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Mereka dipidana karena berinisiatif menggalang sumbangan Rp20 ribu dari orangtua siswa untuk membantu guru-guru honorer di sekolah mereka yang sudah 10 bulan tidak digaji.
Ilustrasi--Guru tengah mengajar muridnya. Foto: Dok. Kemendikdasmen.
Konstitusi sudah mengaturnya dengan sangat jelas. Untuk jenjang pendidikan dasar, Pasal 31 UUD 1945 ayat (2) menyatakan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pada saat bersamaan, negara juga mesti memberi ruang partisipasi aktif masyarakat untuk terlibat dalam upaya memajukan pendidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 Tahun 2025 juga sudah menegaskan bahwa pemerintah wajib menggratiskan biaya pendidikan dasar (SD dan SMP), baik di sekolah negeri maupun swasta. Biaya pendidikan itu sudah mencakup gaji guru sehingga tidak ada alasan untuk memungut biaya apa pun dari siswa.
Namun, ruang partisipasi memajukan pendidikan di negeri ini bukan berarti ditutup, karena di negara dengan tingkat pendidikan maju sekalipun, institusi privat maupun masyarakat terlibat aktif dalam mendorong mutu pendidikan.
Pemerintah harus memastikan bahwa negara mampu memastikan hak dasar rakyat terpenuhi. Tentu saja, MK masih memberi kelonggaran untuk sekolah-sekolah swasta yang sengaja dipilih siswa karena keunggulannya, bukan karena siswa yang bersangkutan tidak mendapatkan kursi di sekolah negeri.
Di jenjang yang lebih tinggi, pemerintah tetap harus memastikan setiap guru mendapatkan upah yang layak. Guru juga warga negara yang berhak mendapatkan penghidupan yang layak dan hidup sejahtera sesuai amanat UUD 1945. Sama sekali tidak berlebihan bila guru non-aparatur sipil negara (non-ASN) setidaknya mendapatkan upah mengikuti standar upah minimum.
Mari kita junjung harkat dan martabat guru karena oleh tangan-tangan merekalah bibit-bibit sumber daya unggul dibentuk untuk mewujudkan Indonesia emas.