22 July 2023 09:56
Praktik jual beli organ tubuh manusia kembali terkuak. Kepolisian Metro Jaya beberapa waktu lalu berhasil menangkap 12 tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Bekasi, Jawa Barat dengan modus menjual organ ginjal di Kamboja. Sedangkan jumlah korban maupun penjual organ ini mencapai 112 orang Warga Negara Indonesia (WNI).
Berdasarkan keterangan sementara, para pelaku melakukan modus kejahatannya dengan cara menjaring warga melalui iklan di media sosial hingga memberangkatkan mereka untuk menjalani transplantasi ginjal di di Rumah Sakit Preah Ket Mealea, Kamboja. Setiap ginjal warga dibeli dengan harga Rp135 juta untuk kemudian dijual kepada konsumen dengan harga Rp200 juta. Para pelaku diduga mendapat cuan Rp65 juta per ginjal.
Pengungkapan kasus perdagangan organ ini bukan hanya terjadi di Bekasi saja. Awal bulan ini, Direktorat Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM berhasil mengamankan lima orang yang diduga terlibat sindikat perdagangan organ internasional di Ponorogo, Jawa Timur. Bahkan pada awal tahun ini, aparat penegak hukum di Makassar, Sulawesi Selatan berhasil mengungkap kasus dua remaja yang menculik serta membunuh anak lainnya yang berusia 11 tahun karena tergiur iklan perdagangan organ tubuh manusia dari internet.
Sebenarnya praktik jual beli organ manusia ini sudah dilarang di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pertama kali melarang pembayaran organ pada 1987. Banyak negara kemudian mengkodifikasikan larangan tersebut ke dalam undang-undang nasional mereka dan menganggap perdagangan organ tubuh manusia pun sebagai bentuk kejahatan transnasional.
Indonesia pun sudah mengadopsi larangan ini dengan memasukkannya ke dalam klausul Undang-Undang Kesehatan yang lama maupun yang sudah direvisi. Pasal 432 UU Kesehatan yang menyebutkan “Setiap orang yang memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan alasan apa pun dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.”
Kenyataannya praktik jual beli organ ini tidak mudah untuk dilumpuhkan. Sebab, para pelaku berjejaring dan tersebar di berbagai negara. Mereka pun mampu menutupi gerak-geriknya dari endusan aparat penegak hukum. Yang semakin merepotkan ternyata sebagian pelaku tindak kejahatan ini justru pagar makan tanaman alias aparat penegak hukum sendiri.
Dalam kasus penangkapan 12 tersangka TPPO di Bekasi, diduga dua aparat terlibat, yakni Aipda M yang meraup uang Rp 612 juta dan petugas imigrasi, A, yang mendapat Rp 3,5 juta. Dia berperan meloloskan pendonor di pemeriksaan imigrasi. Keterlibatan aparat ini menunjukkan sindikat bahwa bisnis ginjal terorganisasi dengan rapi.
WHO mencatat perdagangan organ ilegal terjadi setidaknya karena dua faktor, yakni kemiskinan dan lemahnya peraturan perundang-undangan. Umumnya para pemasok organ tubuh berasal dari negara miskin. Sementara penadah atau konsumennya berasal bukan hanya dari negara kaya melainkan juga negara berkembang.
Walhasil, apabila pemerintah ingin menghapus praktik tidak beradab ini tentu dengan mengurangi kemiskinan agar tidak ada lagi orang yang ingin menjual organ untuk menyambung hidupnya. Di sisi lain, penegakan hukum yang tidak pandang bulu pelaku, jaringan sindikat, harus diusut tuntas. Begitu pun pendonor ginjal ilegal harus dikenakan hukuman. Terlebih aparat yang terlibat harus lebih berat hukumannya. Untuk menangkal kasus ini agar tidak terulang kembali harus ada efek jera terhadap sindikat bisnis haram ini.
Selain itu, pemerintah juga harus mengawasi konten media sosial yang melakukan praktik jual beli ginjal. Pemerintah jangan tidur mendeteksi bisnis biadab ini. Sekali lagi jangan tidur.