Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Bintan Saragih menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Pendapat berbeda itu terkait putusan soal Nomor 2/MKMK/L/11/2023 soal hasil sidang etik terhadap hakim konstitusi Anwar Usman.
"Dasar saya memberikan pendapat berbeda yaitu pemberhentian tidak dengan hormat kepada hakim terlapor sebagai hakim konstitusi, in casu Anwar Usman karena hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat," kata Bintan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 7 November 2023.
Bintan mengatakan sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat. Tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK.
Bintan menyebut dinamika pembahasan putusan etik dengan Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dan anggota MKMK Wahiduddin Adams berjalan dengan sangat substantif. Mereka saling menghormati dan saling senyum.
"Namun dalam membuat kesimpulan dan penentuan sanksi terhadap hakim terlapor Anwar Usman, kami berbeda sehingga saya harus memberikan dissenting opinion," ujar dia.
Menurut Bintan, pendapat berbeda itu didasari latar belakangnya sebagai ilmuwan dan akademisi. Dia memandang dan menilai suatu masalah dan peristiwa selalu berdasarkan apa adanya.
"Itulah sebabnya dalam memberi putusan pada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi a quo, saya memberi putusan sesuai aturan yang berlaku, dan tingkat pelanggaran kode etik yang terjadi dan terbukti, yaitu sanksi bagi hakim terlapor berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi," jelas dia.
Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena melakukan pelanggaran kode etik berat. Hal itu berdasarkan putusan Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang dibacakan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie.
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor," kata Jimly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 7 November 2023.
Jimly mengatakan Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Hal itu sudah tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan.
"Kemudian prinsip independensi serta prinsip kepantasan dan kesopanan," papar dia.