Sekian lama isu kekurangan dokter telah mencuat, kita jelas berharap solusi nyata dari pemerintah. Terlebih, berbagai faktor penyebabnya juga telah berulang kali dikupas.
Mulai dari faktor utama, yakni mahalnya biaya pendidikan dokter, hingga tingginya biaya izin praktik yang membuat tak sedikit dokter yang malas melanjutkan ke spesialis. Faktor minimnya dokter di wilayah terpencil pun sudah diungkap berbagai pihak.
Meskipun sudah dimunculkan lagi, setelah sebelumnya sempat ditiadakan, bantuan biaya hidup dari pemerintah untuk dokter di wilayah terpencil masih sangat rendah. Tak mengherankan jika para dokter yang sudah keluar uang banyak untuk sekolah lebih memilih bekerja di kota demi cepat 'balik modal'.
Solusi atas berbagai permasalahan itu pula yang berupaya dibuat pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, yang pada Februari lalu telah disetujui Rapat Paripurna DPR sebagai inisiatif dewan. Salah satu muatan dalam RUU itu ialah adanya izin bagi dokter asing untuk berpraktik di Indonesia.
Kemarin, Menteri Kesehatan Budi Gunadi menjelaskan kehadiran dokter asing akan dapat menjadi solusi krisis dokter spesialis di wilayah terpencil. Caranya, klaim Menkes, dengan menempatkan mereka selama dua tahun terlebih dahulu di daerah.
Kendati begitu, Menkes tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai aturan penempatan itu, selain hanya menyebutkan wilayah Papua. Masih menurut Menkes, banyak dokter asing yang berminat ditempatkan di pedalaman.
Penjelasan itu tentu saja sulit diterima. Tanpa kita menuntut fakta yang lebih detail mengenai dokter asing seperti yang disebutkan Menkes, solusi tersebut sudah tercium hanya menambah runyam permasalahan yang sudah ada.
Bukan hanya sama sekali tidak menyentuh faktor-faktor utama kendala di dalam negeri, baik biaya pendidikan dokter maupun insentif biaya hidup di pedalaman, penempatan dokter asing juga menambah beban baru, baik bagi hal teknis maupun nonteknis. Adaptasi terhadap bahasa hingga budaya hanyalah segelintir kendala awal. Belum lagi standar gaji hingga insentif yang sangat mungkin berbeda dan justru menimbulkan konflik dengan dokter dalam negeri.
Pemberian izin praktik bagi dokter asing tanpa aturan asal sekolah ataupun negara justru menurunkan kualitas layanan kesehatan kita. Negara kita bisa menjadi target bagi dokter-dokter yang sesungguhnya inkompeten dan dari sekolah medis kurang berkualitas, meski berembel-embel luar negeri.
Praktik seperti ini sudah banyak terjadi di negara-negara dengan pasar bebas profesi. Ketika pemerintah menutup mata akan hal tersebut, sama saja dengan menempatkan bangsa ini dalam bahaya.
Jangan heran kalau negara seperti Filipina, yang juga sama mengalami krisis dokter seperti di Indonesia, sangat berhati-hati membuka praktik bagi dokter asing. Pemerintah Filipina hanya membuka izin praktik dokter asing dengan perjanjian bilateral. Dengan demikian, dokter asing yang bisa masuk hanya dari negara tertentu dan hanya dari sekolah kedokteran tertentu.
Bukan itu saja, Filipina pun mensyaratkan perjanjian timbal balik. Artinya, dokter mereka juga harus bisa bersekolah ataupun membuka praktik di negara mitra itu. Dengan cara itulah transfer ilmu benar-benar dapat terwujud, dan bukan semata harapan muluk bahwa para dokter asing dapat cuma-cuma berbagi ilmu dengan dokter dalam negeri.
Sebelum mencetuskan solusi blunder dokter asing ini, akan lebih baik jika pemerintah berkaca pada negara serumpun, Malaysia, dalam mengenjot jumlah dokter spesialisnya. Alih-alih seperti di Indonesia, ketika dokter harus merogoh kocek dalam untuk sekolah spesialis, Malaysia justru menggratiskan lewat residency training. Tidak hanya itu, dokter pun mendapatkan gaji dari rumah sakit tempat ia training tersebut. Mengenai izin praktik dokter asing, Malaysia pun setali tiga uang dengan Filipina karena juga menerapkan aturan soal asal sekolah, berikut syarat ketat lainnya.
Memang, Menkes Budi beralasan negeri ini membutuhkan waktu minimal 11 tahun lagi untuk menutup defisit jumlah dokter. Hal itu berdasarkan angka defisit dokter spesialis yang mencapai sekitar 25 ribu orang. Kenekatan pemerintah mendorong izin praktik dokter asing tanpa kesiapan aturan lainnya justru semakin menguatkan kesan upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan lewat RUU ini.
Karena itu, kita meminta Menkes tidak hanya bertameng dengan angka kematian ribuan bayi gagal jantung ataupun penyakit lainnya yang membutuhkan penanganan dokter spesialis. Jelas angka itu memprihatinkan dan juga membutuhkan solusi segera.
Maka, langkah awal yang semestinya harus cepat dilakukan ialah peningkatan bantuan biaya hidup bagi dokter pedalaman. Bahkan, jika pemerintah serius dalam mendorong distribusi dokter ke wilayah terpencil, bantuan biaya hidup semestinya dinaikkan berkali-kali lipat, dari yang tertinggi saat ini hanya di kisaran Rp6,4 juta (daerah terpencil, kepulauan, dan perbatasan). Dengan medan dan risiko besar, dokter-dokter tersebut sudah selayaknya diperlakukan layaknya pahlawan dan diberi apresiasi berkali-kali lipat.
Tidak hanya itu, pemerintah harus menggenjot beasiswa kedokteran sebesar-besarnya. Para dokter pun dipastikan dapat melanjutkan ke jenjang spesialis dengan keringanan biaya. Cara itulah yang krusial untuk pemerataan pelayanan kesehatan kita yang lebih terjamin. Memaksakan izin dokter asing adalah jawaban blunder yang sarat risiko.