28 February 2025 10:30
MENJELANG Ramadan 1446 Hijriah, harga sejumlah komoditas kebutuhan pokok di pasar-pasar tradisional kompak merangkak naik. Entah siapa yang memberi komando, cabai yang kini harganya naik antara Rp10.000/kg-Rp20.000/kg menjadi motor penggerak naiknya harga bahan-bahan pokok lainnya. Dan, seperti biasa, naiknya harga-harga itu masih akan terus berlanjut hingga mendekati Lebaran.
Belum lagi puasa, harga-harga sudah pada naik, bagaimana saat Lebaran nanti? Demikian gerutu publik di pasar yang turut diamini para pedagang karena khawatir pembeli juga akan ikut turun.
Inflasi menjelang Ramadan itu kerap terjadi pada beberapa komoditas pangan, di antaranya daging ayam ras, minyak goreng, beras, ayam hidup, daging sapi, telur ayam ras, hingga gula pasir.
Fenomena naiknya harga bahan pokok jelang masuknya bulan puasa sudah jadi kisah klasik di negeri agraris ini. Ibarat lagu yang bernada sumbang, jika lagu itu terus didengar, lama-lama akan kian akrab di telinga.
Entah apa nikmatnya mendengar lagu bernada sumbang, apalagi jika sampai diputar ratusan kali. Namun, itulah fakta di negeri ini yang masyarakatnya kerap disuguhi nada sumbang.
Naiknya harga bahan pokok sudah menjadi pola yang selalu terjadi setiap tahun. Terjadi di tahun lalu, kembali berulang di tahun ini, dan terus berulang di tahun-tahun berikutnya.
Jika merujuk pada hukum ekonomi, naiknya harga pasti akan terjadi jika naiknya permintaan tak dibarengi dengan naiknya pasokan. Sementara itu, soal pasokan, sudah dari jauh-jauh hari pemerintah menyatakan stok bahan pokok dalam status mencukupi, bahkan beberapa komoditas disebut berlimpah seperti beras. Namun, mengapa nyatanya harga-harga saat ini malah naik? Sungguh tak masuk di nalar kenaikan itu.
Jika pemerintah berani jujur mengoreksi diri, kenaikan harga itu jelas akibat dari kelengahan menjaga kestabilan harga. Bagaimana tidak, di tengah daya beli masyarakat yang masih tertekan sejak awal 2024, bisa-bisanya harga bahan pokok malah naik.
Naiknya harga bahan pokok itu karuan saja akan menjadi momok buat mereka. Dengan isi kantong yang makin cekak, kelompok masyarakat yang sudah turun kelas itu pasti akan menambah daya pengereman konsumsi mereka.
Karena sudah seperti siklus tahunan, naiknya harga bahan pokok mestinya bisa diantisipasi dari jauh-jauh hari oleh pemerintah. Tentunya hal itu bisa dicegah jika pemerintah punya kemampuan manajemen stok dan distribusi bahan pokok yang baik.
Pencegahan juga bisa dilakukan jika pemerintah punya kemampuan pengawasan yang mumpuni. Mudah sekali ditebak, naiknya harga bahan pokok di tengah stok yang mencukupi akibat ulah spekulan yang sengaja menahan pasokan di gudang.
Sejatinya, mudah sekali dideteksi keberadaan para spekulan ini. Mereka biasanya berada di sentra-sentra produksi bahan pokok. Mereka sengaja menahan bahan pokok di gudang, dan begitu harganya melambung baru mereka lepas ke pasar.
Ketiadaan penegakan hukum yang tegas bagi para spekulan itu jelas tak membuat mereka jera. Mereka akan kembali mengulangi perbuatan itu di Ramadan kali ini dan Ramadan-Ramadan berikutnya.
Mudah sekali bukan mendeteksinya? Hal yang sulit itu ialah menumbuhkan kesadaran pemerintah untuk segera mengakhiri kepandiran massal itu. Masa untuk mengatasi segelintir spekulan saja, pemerintah tak mampu?