Jakarta: Musim kemarau identik dengan cuaca panas, kering, dan minim hujan. Namun, bagaimana jika saat musim kemarau justru hujan masih turun dengan intensitas tinggi? Inilah yang dikenal sebagai kemarau basah, sebuah fenomena cuaca yang semakin sering terjadi di Indonesia.
Fenomena ini bukan hanya membingungkan masyarakat, tapi juga menimbulkan tantangan serius bagi sektor pertanian, pengelolaan air, hingga perencanaan pembangunan. Lalu, apa sebenarnya kemarau basah itu dan apa saja penyebab serta dampaknya?
Apa Itu Kemarau Basah?
Mengutip dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau basah adalah kondisi saat musim kemarau yang menurut kalender
iklim seharusnya kering, namun masih mengalami hujan dengan frekuensi dan volume yang cukup tinggi. Normalnya, musim kemarau ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 mm per dasarian (10 hari). Namun pada kondisi kemarau basah, angka ini bisa jauh terlampaui secara konsisten.
Fenomena ini menyebabkan daerah yang seharusnya kering tetap lembap, bahkan tergenang air. Kondisi ini menandakan adanya anomali iklim yang perlu diwaspadai.
Penyebab Kemarau Basah
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya kemarau basah antara lain:
1. Suhu Permukaan Laut yang Menghangat
Perairan sekitar Indonesia yang lebih hangat dari biasanya meningkatkan penguapan, mempercepat pembentukan awan hujan, dan menyebabkan curah hujan meningkat meski di musim kemarau.
Baca Juga: Apa itu Kemarau Basah? Pengertian dan Penyebabnya |
2. Lemahnya Angin Musim Kemarau dari Australia
Angin ini biasanya membawa udara kering dan menekan pembentukan awan hujan. Ketika melemah, potensi hujan justru meningkat di wilayah Indonesia.
3. Pengaruh La Nina
La Niña adalah fenomena di mana suhu laut di Samudera Pasifik bagian timur lebih dingin dari normal, sementara wilayah Indonesia menjadi lebih hangat. Hasilnya? Aktivitas konvektif meningkat dan hujan pun sering turun.
4. Fenomena IOD Negatif (Indian Ocean Dipole)
Terjadi ketika suhu laut di Samudera Hindia bagian timur (dekat Indonesia) lebih hangat dibanding bagian baratnya. Ini memperkuat pembentukan awan dan menambah curah hujan.
Ketika faktor-faktor ini muncul secara bersamaan, maka distribusi hujan menjadi tidak sesuai dengan pola musim normal, menciptakan kondisi kemarau yang tidak lagi kering.
Dampak Kemarau Basah
Kemarau basah berdampak luas dan kompleks, baik positif maupun negatif:
Dampak Positif
Meningkatnya curah hujan selama musim kemarau membantu menjaga ketersediaan air, khususnya untuk keperluan irigasi, bendungan, dan suplai air bersih.
Dampak Negatif
Namun, bagi sektor pertanian, kondisi ini justru bisa merugikan. Tanaman musim kering seperti jagung, kedelai, atau kacang-kacangan sangat rentan terhadap tanah yang terlalu lembap atau bahkan tergenang air. Selain itu, kelembapan berlebih memicu peningkatan hama dan penyakit tanaman.
Kemarau basah juga membuat kalender tanam menjadi sulit diterapkan. Petani yang terbiasa mengikuti siklus musim kini harus menyesuaikan diri dengan pola hujan yang tidak pasti.
Solusi dan Strategi Adaptasi
Menghadapi kemarau basah membutuhkan pendekatan adaptif dari semua pihak, termasuk pemerintah, petani, dan masyarakat umum. Beberapa strategi yang bisa dilakukan antara lain:
- Memperkuat sistem peringatan dini dan monitoring cuaca
- Memperbarui data suhu laut dan atmosfer secara berkala
- Edukasi petani untuk penyesuaian waktu tanam yang lebih fleksibel
- Penggunaan teknologi prediksi cuaca yang lebih canggih dan lokal-spesifik
Sobat MTVN Lens, kemarau basah merupakan cerminan nyata dari dinamika iklim global yang terus berubah. Memahaminya bukan hanya penting bagi petani atau instansi pemerintah, tapi juga bagi masyarakat umum yang ingin lebih siap menghadapi cuaca ekstrem yang tidak menentu.
Kalau sektor pertanian sudah jelas terdampak oleh fenomena ini, menurut kamu, sektor apa lagi yang seharusnya ikut bersiap menghadapi kemarau basah?
Jangan lupa tonton
MTVN Lens lainnya hanya di Metrotvnews.com.
(Zein Zahiratul Fauziyyah)