NEWSTICKER

Makna Filosofi Vihara Toasebio

N/A • 26 May 2023 09:09

Masyarakat Tionghoa telah mengakar di Indonesia beratus-ratus tahun lalu. Seperti etnis lainnya, tempat ibadah seperti kelenteng, vihara ataupun kuil juga sangat berperan penting dalam kehidupan spiritual mereka. 

Kelenteng atau vihara yang dominan dengan patung dewa-dewi sudah menjadi sebuah pemandangan yang umum di kalangan masyarakat. Berbicara mengenai kelenteng atau vihara, pastinya tidak terlepas dari sejarah di masa silam. 

Di masa Dinasti Yuan dan Ming, istilah “persatuan tiga agama dalam satu atap” muncul untuk melambangkan keharmonisan hubungan antara agama Buddha, Konghucu dan Taoisme. Karena itu, sejumlah kelenteng di seluruh Indonesia bahkan juga mengadopsi sistem “persatuan tiga agama dalam satu atap” tersebut. 

Inilah yang justru menjadi ciri khas kelenteng. Setiap dewa ternyata memberkati berbagai aspek kehidupan manusia, masyarakat biasanya akan datang ke kelenteng untuk memberi penghormatan kepada dewa/i, membakar dupa dan kertas sembahyang, serta berdoa untuk keselamatan keluarga dan kesejahteraan anak cucu mereka.

Selain itu, di dalam kelenteng atau vihara biasanya juga terdapat ‘menara lilin penerangan’ atau yang umum dikenal sebagai ‘lilin perdamaian’. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, jika seseorang bertemu dengan tahun yang sama dengan shio tahun lahirnya; untuk menghindari kemalangan dan kesialan, orang tersebut harus pergi ke kelenteng atau vihara untuk menyalakan ‘lilin penerangan’ selama 1 tahun penuh. 

Lilin merah setinggi setengah badan orang dewasa ini menyimbolkan harapan keselamatan dan kesehatan diri sendiri dan anggota keluarganya. Selain itu, lilin juga merupakan perwujudan pengorbanan diri sendiri untuk menerangi orang lain dan memiliki makna melayani masyarakat sesuai kemampuan diri serta membantu semua makhluk hidup tanpa pamrih serta rela berkorban.

Di depan rupang Buddha biasanya terlihat persembahan bunga, buah, teh dan air. Semua persembahan ini sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Air melambangkan pikiran yang jernih dan murni. Sedangkan bunga dan buah melambangkan praktik perilaku luhur yang akan ‘membuahkan’ karma baik. Makna dari persembahan ini sejatinya sebagai wujud menunjukkan rasa syukur dan menjadikan mereka yang berbudi luhur sebagai suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari.

Suasana masyarakat yang berdoa dengan hikmat dan aroma dupa yang tercium di ujung hidung menjadi penenang pikiran mereka. Kelenteng atau vihara yang dipenuhi dengan esensi budaya Tionghoa dan semangat Tridharma (Buddhisme, Confusianisme dan Taoisme) ini yang tidak akan lengkang oleh waktu.
(Sofia Zakiah)
';