Bedah Editorial MI: Menimbang Sebelum Menambang

7 June 2024 09:11

DIIZINKANNYA organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk mengelola usaha pertambangan disambut antusias oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ormas keagamaan terbesar di dunia itu akan membuka lembaran baru melalui badan usahanya untuk menjadi salah satu pengelola tambang batu bara. 

Seiring penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang diteken pada 30 Mei, setiap ormas diberi hak kelola pertambangan. Namun, hingga kini, baru PBNU yang paling cepat merespons. Dua ormas keagamaan, yakni Konerensi Wali Gereja Indonesa (KWI) dan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menolak mengambil hak kelola tambang itu.

Begitu juga dengan Muhammadiyah, yang hingga kini belum menentukan sikap, apakah mengambil atau tidak opsi pengelolaan tambang yang diberikan oleh pemerintah. Adapun NU, berjanji akan mengisi badan usaha yang mereka bentuk dengan merekrut ratusan profesional dari kalangan NU, termasuk yang selama ini sudah bekerja di luar negeri. Penghasilan dari perusahaan itu kemudian akan digunakan untuk kebutuhan organisasi, bukan individu. Sebuah niat baik, yang kita akan tunggu realisasinya.
 

Baca: Ormas Kelola Tambang Rawan Konflik Kepentingan

Namun, bagi ormas keagamaan yang tidak akan mengajukan izin usaha tambang, mereka juga memiliki niat yang tak kalah mulia. Mereka merasa tidak memiliki kemampuan di bidang tambang dan khawatir akan kehilangan legitimasi moral. Selain itu ada juga yang menekankan prinsip kehati-hatian dan akan mempertimbangkan tawaran itu dari sisi positif, negatif, serta kemampuan diri. 

Dengan respons yang berbeda seperti itu, layak kiranya jika publik bertanya-tanya, apa urgensi dibolehkannya ormas untuk mengelola tambang? Bahkan, publik layak mempertanyakan apa niat sesungguhnya dari dibukanya opsi pengelolaan tambang kepada ormas? Belum lagi bila muncul pertanyaan soal kapasitas pengelolaan tambang yang sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, apakah ormas bisa menggaransinya?

Selama ini, publik berharap ormas mampu memainkan peran sebagai perekat kohesi sosial. Ormas keagamaan, misalnya, diharapkan untuk tidak melalaikan tugas dan fungsi utama dalam membina umat. Apalagi, pekerjaan rumah pembinaan umat itu masih sangat banyak. Kita melihat kondisi toleransi beragama yang masih kerap terganggu merupakan salah satu pekerjaan yang belum sepenuhnya tuntas hingga saat ini. 

Ormas, khususnya ormas keagamaan, juga dituntut untuk menuntun masyarakat kian mencintai lingkungan. Di tengah daya dukung lingkungan yang rusak dari waktu ke waktu, ketiadaan jaminan pengelolaan tambang yang ramah lingkungan malah berpotensi menjadikan masyarakat korban rusaknya lingkungan akibat usaha tambah yang abai terhadap tata kelola berkelanjutan.

Selama ini, ormas keagamaan amat dibutuhkan kehadirannya oleh umat untuk mendampingi, bahkan mengadvokasi, para korban praktik penambangan yang abai terhadap kelestarian lingkungan tersebut. Posisi seperti itu amat mungkin bisa bergeser sebaliknya bila ormas justru menjadi pemain utama pengelola pertambangan layaknya korporasi.

Publik tentu tidak rela bila ormas yang dekat dengan mereka justru terseret praktik-praktik culas yang bisa saja terjadi bila mereka masuk ke ranah izin usaha pertambangan. Kita belum bisa melupakan bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat mantan bendahara ormas keagamaan dalam pusaran kasus izin usaha pertambangan. 

Karena itu, pemberian izin usaha pertambangan kepada ormas mesti dijalankan secara hati-hati. Jangan sampai berharap mendatangkan manfaat, yang banyak muncul justru mudarat. Prinsip menolak mudarat mesti didahulukan ketimbang memetik manfaat.

Kini, tantangan yang mesti kita hadapi terkait dengan relasi antara tambang dan keberlangsungan lingkungan masih bertumpuk. Memastikan masalah yang lama tuntas saja belum bisa kita jamin kapan akan terjadi. Apalagi, bila hal itu kian ditambah dengan tantangan baru pengelolaan tambang yang belum sanggup dijamin sepenuhnya kemampuan tata kelola keberlanjutannya

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)