Aksi penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Overdimension Overloading (RUU ODOL) bergema serentak di berbagai daerah pada 19 Juni 2025. Ribuan sopir truk dari Bandung, Trenggalek, hingga Surabaya turun ke jalan memarkir armada mereka sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dinilai menyengsarakan. Korps Lalu Lintas (Korlantas) mengungkapkan kalau saat ini masih di tahap sosialisasi dengan para sopir.
Selain menolak pemberlakuan aturan ODOL secara penuh pada 2026, massa juga menuntut pemberantasan premanisme jalanan. Serta revisi UU Lalu Lintas Jalan Nomor 22 Tahun 2009.
Truk ODOL merujuk pada kendaraan angkutan barang yang kelebihan dimensi atau muatan melebihi ketentuan. Operasional truk ODOL dinilai membahayakan keselamatan dan merusak infrastruktur jalan, membuat pemerintah harus mengeluarkan Rp41 triliun per tahun untuk perbaikan. Pemerintah pun meluncurkan program Zero ODOL demi meningkatkan keselamatan, efisiensi logistik, dan menjaga ketahanan infrastruktur nasional.
Kepala Bagian Operasi Korlantas Polri, Kombes Aris Syahbudin, menyatakan bahwa penolakan ini merupakan bagian dari hak menyampaikan aspirasi yang dijamin negara. Ia menegaskan, penerapan Zero ODOL tidak serta-merta berlaku penuh pada 2026, melainkan melalui tiga tahapan, yakni sosialisasi, peringatan, dan penegakan hukum. Saat ini masih dalam tahap sosialisasi, termasuk pendataan kendaraan dan pemiliknya.
Ia memastikan bahwa penindakan nantinya tidak hanya menyasar
sopir, tetapi juga pemilik armada, korporasi, hingga bengkel karoseri yang melakukan modifikasi ilegal.
“Sebenarnya, langkah ini justru untuk melindungi sopir. Banyak dari mereka yang terpaksa mengangkut muatan berlebih karena tekanan dari pemilik armada,” ujar Kombes Aris dikutip dari
Metro Siang Metro TV pada Jumat, 20 Juni 2025.
Kombes Aris juga menjelaskan, pelanggaran
overdimension diatur dalam Pasal 277 UU No. 22 Tahun 2009, dengan sanksi pidana satu tahun penjara dan denda maksimal Rp24 juta. Sedangkan pelanggaran
overloading dikenai sanksi kurungan dua bulan dan denda mulai dari Rp500 ribu hingga Rp2 juta tergantung pada persentase kelebihan muatan.
Menanggapi kekhawatiran sopir akan kehilangan pekerjaan, Kombes Aris menyebut justru banyak sopir yang merasa lebih nyaman, jika kendaraan tidak kelebihan muatan karena mereka tahu itu membahayakan diri sendiri dan pengguna jalan lainnya. Ia menambahkan bahwa pembayaran sopir berbasis tonase sering kali tidak sebanding dengan risiko yang mereka tanggung.
Selain itu, menjawab isu pungutan liar selama proses penertiban ODOL,
Polri menegaskan telah menyiapkan sistem pengawasan internal dan eksternal.
“Setiap penindakan nantinya akan sesuai SOP, ada pengawasan dari perwira, surat perintah, serta pengawasan dari Propam. Kami juga membuka kanal pengaduan masyarakat,” tegasnya.
Program Zero ODOL sendiri telah mengalami penundaan beberapa kali sejak 2016. Namun, dengan angka kecelakaan lalu lintas yang masih tinggi, sebanyak 26.800 korban jiwa tercatat sepanjang 2024. Pemerintah berkomitmen untuk mendorong reformasi logistik dan keselamatan
transportasi secara menyeluruh.
(Tamara Sanny)