Korupsi betul-betul susah mati di negeri ini. Satu waktu ada kabar tentang korupsi yang dilakukan pejabat eksekutif, tak berselang lama giliran punggawa yudikatif ditangkap karena menerima suap. Lalu, di waktu yang lain lagi, legislator pun melakukan hal yang sama, seolah tak mau kalah.
Intinya ialah korupsi sudah seperti virus. Ia begitu mudah menjangkiti para penyelenggara negara, siapa pun dia, tidak peduli pejabat eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif. Bahkan, kerap kali terjadi kolaborasi di antara kedua atau ketiganya.
Saking hebatnya virus itu, ia juga sangat gampang bermutasi. Karena itu, tidak mengherankan kalau ada anggapan korupsi tak pernah mati. Bahkan penindakan demi penindakan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama sekali tak membuat jera.
Di Republik ini korupsi terus saja berulang. Pelaku dan perilakunya ibarat mati satu tumbuh seribu. Satu orang diringkus, muncul satu gerombolan lain yang tak kalah rakus. Satu orang dijebloskan penjara, di tempat lain banyak orang sedang diintai karena mengutil uang negara.
Kasus dugaan korupsi teranyar yang menyeret Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak sebagai tersangka utama kian mengonfirmasi bahwa perilaku korup bukan hanya tidak pandang bulu, melainkan juga tak peduli waktu dan tempat.
Bayangkan saja, operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Sahat dan kawan-kawan, Rabu (14/12/2022), hanya berselang lima hari setelah kita memperingati Hari Antikorupsi Sedunia. Bersemangat memperingati Hari Antikorupsi, tetapi nyatanya itu hanya menjadi seremoni, korupsinya jalan terus.