Bedah Editorial MI - Satu Komando Hadapi Perusak Hutan

12 December 2025 08:48

Rangkaian banjir bandang dan tanah longsor dahsyat yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat kembali memperlihatkan betapa rapuhnya koordinasi negara dalam menghadapi krisis ekologis. Nyawa hampir seribu warga melayang dan jutaan orang lainnya terdampak. Namun, di tengah tragedi kemanusiaan itu, penegakan hukum yang seharusnya menjadi tiang akuntabilitas, justru bergerak tak beraturan layaknya kabel kusut yang sulit dirunut ujungnya.

Ada banyak pintu penindakan, tetapi tak satu pun benar-benar terhubung. Banyak aparat turun ke lapangan, tetapi tanpa komando jelas siapa yang memimpin langkah. Akibatnya, yang tampil bukan kekuatan bersama, melainkan gerak sendiri-sendiri.

Kini, setidaknya empat jalur penegakan hukum berjalan paralel untuk menindak para perusak hutan yang disebut menjadi biang terjadinya banjir bandang dan tanah longsor besar di Pulau Sumatra. Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang digerakkan Kejaksaan Agung, Bareskrim Polri, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup bergerak dengan ritme masing-masing.

Kementerian Kehutanan telah menyegel tujuh subjek hukum, termasuk PT Toba Pulp Lestari dan PT Agincourt Resources, serta lima individu. Di saat bersamaan, KLH pun menyelidiki delapan perusahaan dengan dua nama besar yang sama. Adapun Bareskrim Polri menaikkan perkara tumpukan kayu batangan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Garoga hingga Anggoli ke tahap penyidikan. Sementara itu, Satgas PKH Kejaksaan Agung menelusuri potensi pidana kehutanan melalui jalur yang berbeda lagi.

Sekilas, langkah itu seolah menunjukkan negara tengah mengepung para perusak hutan dari segala penjuru. Pendekatan multipintu ini idealnya memastikan tak ada celah hukum bagi pelaku untuk lolos. Bila satu pintu tertutup, pintu lainnya siap menjebak.

Namun, dalam praktiknya, pendekatan itu justru rawan menimbulkan tumpang tindih yang melemahkan. Tanpa komando tunggal, empat penjuru itu bisa saling meniadakan, bukan saling menguatkan. Ego sektoral yang masih saja bercokol membuat koordinasi mudah tersendat. Sekadar soal siapa yang berwenang atas tumpukan kayu batangan atau gelondong pun, misalnya, bisa menjadi rebutan antarinstansi.
 

Baca juga: Usut Mafia Kayu Bencana Sumatra

Lebih berbahaya lagi, tumpang tindih dakwaan dapat membuka ruang penggunaan asas ne bis in idem, yang melarang seseorang diadili dua kali untuk perkara yang sama. Bila dakwaan disusun serampangan, bukan tidak mungkin justru gugur di pengadilan. Lolosnya para perusak hutan akan menjadi ironi pahit bahwa negara kalah bukan karena lihainya para pelaku, melainkan lantaran aparatnya tercerai-berai.

Gejala itu sudah tampak jelas, seperti diingatkan Walhi. Penyegelan yang dilakukan Kemenhut tak diikuti langkah lanjutan seperti pencabutan izin atau penagihan tanggung jawab pemulihan. Tanpa kesinambungan tindakan, penyegelan hanyalah ritus simbolis.

Di titik inilah Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan. Presiden mesti menjadi dirigen yang menyatukan gerak empat institusi sekaligus, memadamkan ego sektoral, serta membangun keseragaman langkah. Negara harus hadir dengan gempuran yang taktis, strategis, dan terpadu.

Sebab, tanpa integrasi, kehadiran banyak lembaga hanyalah tontonan gagah di media massa, tetapi ompong di ruang peradilan. Negara tidak boleh lagi membiarkan penindakan hanya menjadi sensasi yang viral sesaat, ramai di linimasa, tetapi sunyi ketika harus membuktikan hasil.

Hutan yang rusak telah menagih korban. Maka, negara harus hadir dalam satu komando, memastikan para perusak tidak lagi bebas merusak dan kemudian bebas melenggang. Hanya dengan itu, korban bencana mendapat keadilan, dan bumi Sumatra tidak terus menjadi panggung tragedi berulang.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Anggie Meidyana)