Jadikan Sekolah Tempat Aman

10 November 2025 09:12

Masyarakat Indonesia sangat prihatin melihat perilaku sebagian pelajar kita. Dalam tempo sekitar satu pekan, terjadi dua peristiwa yang memilukan dilakukan oleh kalangan siswa. 

Pertama, seorang santri di bawah umur disangkakan sebagai pelaku pembakaran asrama putra di sebuah pondok pesantren (ponpes) yang berada di Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh pada 31 Oktober 2025. Lalu, pada 7 November, seorang pelajar diduga menjadi pelaku peledakan di SMA Negeri 72 yang berlokasi di kompleks TNI-AL, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Siswa dan santri di Jakarta dan Aceh tersebut mungkin tidak saling kenal. Akan tetapi, mereka sama-sama nekat melakukan tindak kekerasan. Bila santri di Aceh menggunakan korek api, siswa di SMAN 72 diduga menggunakan bahan peledak rakitan. 

Pesan yang perlu diambil dari kedua peristiwa itu bukan terletak pada peralatan yang digunakan ataupun persiapan mereka. Yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana anak muda penerus bangsa tersebut terlibat dalam aksi kekerasan. 
 

Baca: Tak Perlu Doktrin, Cukup Bullying Maka Meledaklah Bom

Untuk kasus santri di Aceh, aparat kepolisian sudah mengungkapkan motif di balik kejadian itu karena kekesalan pelaku yang karena kerap menjadi korban perundungan di ponpes. 

Adapun tragedi di SMAN 72, polisi masih menunggu pemulihan terduga pelaku untuk mengetahui motif tindakannya. Sejumlah rekannya mengungkapkan pelaku sebenarnya juga korban aksi perundungan. Sedangkan pihak lain menduga perilaku kekerasan pelaku terkait dengan konten di media sosial (medsos). 

Apapun motifnya, kejadian ini seyogianya menjadi alarm pengingat bagi semua pihak, baik untuk pemerintah, guru, orangtua, hingga lingkungan. Pengingat bahwa telah terjadi pergeseran relasi antara anak dan orangtua, guru, dan lingkungan sekitar. 

Anak-anak seakan memandang kemarahan dan agresi selama ini bisa disalurkan sesuai kemauan mereka sendiri. Mereka yang sudah memendam dendam atas aksi perundungan yang mereka alami dan tidak bisa meraih keadilan melalui jalur orangtua dan guru, akhirnya merasa aksi vigilante atau main hakim sendiri menjadi solusi. 

Kondisi itu diperburuk dengan paparan konten media sosial maupun gim online yang marak menawarkan kekerasan sebagai jalan menuju keadilan atau kemenangan. Mereka yang minim literasi digital belum bisa memilah manfaat maupun mudarat dari medsos maupun gim online tersebut.
 
Baca: Buntut Insiden SMAN 72, Pemprov DKI Evaluasi Standar Keamanan di Sekolah

Mereka juga belum bisa membedakan konten yang positif maupun negatif. Sepanjang konten atau gim yang ada dan bisa diakses, itu berarti dianggap bisa menjadi pembenaran atas pembalasan rasa sakit hati.

Pemerintah, orangtua, guru, dan sekolah sudah harus meningkatkan atensi terhadap perubahan perilaku anak. Orangtua semestinya melihat dan mendengarkan keluh kesah anak. Jangan sampai anak merasa dibiarkan sendirian. 

Orangtua juga perlu meningkatkan pemantauan aktivitas anak di dunia maya. Jangan sampai demi prinsip memberi kebebasan, anak justru menjadi korban serangan mental. 

Penggunaan gawai bukanlah sesuatu yang pantang. Tetapi haruslah terukur. Banyak manfaat lain dari gawai ketimbang gim online dan menghabiskan waktu untuk bermedsos.
 
Sistem pemantauan di sekolah yang masih lemah juga kerap membuat anak rentan menjadi korban perundungan atau mengalami tekanan sosial yang tidak tertangani. Guru haruslah menjadi sosok yang digugu (dipercaya) dan ditiru. Sehingga, siswa bisa dengan tanpa ragu bercerita atau mencurahkan isi hati (hati) ke guru. Harapannya, guru dapat mendeteksi dan mencegah perilaku siswa mengarah ke kekerasan. 

Sekolah jangan ragu dan tebang pilih dalam menerapkan aturan tegas demi meminimkan aksi perundungan. Jangan sampai aksi perundungan hanya diselesaikan dengan mempertemukan pelaku dengan korban untuk bersalaman bak peresmian gudang atau kantor baru. Setelah itu, pelaku dan korban disuruh kembali berkegiatan belajar dan mengajar seperti biasa. Padahal, manusia mungkin mudah memaafkan tetapi susah melupakan. 

Kita apresiasi upaya Kemendikdasmen untuk mengembangkan guru wali di luar guru bimbingan dan konseling (BK) sebagai pendamping seluruh murid. Upaya seperti itu bisa mencegah serangan mental yang sudah sangat berbahaya bagi para pelajar kita.

Pemerintah sudah waktunya menerapkan aturan yang mengukur penggunaan gawai dan meningkatkan kegiatan yang positif bagi siswa. Selain itu, jajaran kementerian terkait perlu mengevaluasi gim-gim online yang banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Diva Rabiah)