Tak Perlu Doktrin, Cukup Bullying Maka Meledaklah Bom

Safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Pribadi

Tak Perlu Doktrin, Cukup Bullying Maka Meledaklah Bom

10 November 2025 09:00

Oleh: Safriady* 

Siang itu tidak ada yang menyangka bahwa sebuah bom meledak tepat dalam lingkungan sekolah SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Publik pun terhenyak, berbagai spekulasi muncul sebelum fakta sebenarnya terkuak, tentang siapa pelaku bom tersebut. Ledakan itu memang berskala kecil, namun dentumannya cukup keras mengguncang bangunan dan memunculkan asap tipis dari salah satu sudut ruang kelas. Dalam hitungan menit, polisi, aparat keamanan, dan tim penjinak bom memenuhi halaman sekolah, sebuah pemandangan yang selama ini hanya mereka lihat di televisi, kini terjadi di depan mata.

Ketika nama pelaku beredar dan dipastikan bahwa ia adalah seorang pelajar, keterkejutan publik semakin besar. Bagaimana mungkin seorang siswa SMA anak yang sehari-hari mengenakan seragam putih abu-abu, yang duduk di bangku kelas, mengikuti pelajaran, bercanda dengan teman-temannya mampu merakit bahan peledak yang meskipun sederhana, tetap memerlukan pengetahuan teknis dan komponen tertentu? Pertanyaan itu berulang-ulang muncul di media, forum orang tua, hingga grup WhatsApp sekolah-sekolah lain di Jakarta. Lebih mengganggu lagi, polisi memastikan bahwa bahan-bahan peledak itu dirakit sendiri oleh sang pelajar, diduga berdasarkan petunjuk yang ia dapatkan secara daring.

Fakta itu tak bisa dipungkiri, memperlihatkan realitas baru yang selama ini mungkin disangkal banyak pihak yaitu batas antara anak-anak dan pengetahuan berbahaya telah menghilang. Sekali klik, satu pencarian daring, satu video tutorial dan dunia yang seharusnya berada di luar jangkauan remaja tiba-tiba berada tepat di ujung jari mereka. Generasi sekarang bukan hanya pengguna teknologi, mereka adalah generasi yang tumbuh dengan algoritma, forum anonim, dan akses informasi tanpa sensor. 

Kisah SMA 72 Kelapa Gading, dalam konteks ini, tidak lagi dapat dipandang sebagai insiden terisolasi ataupun sekadar kenakalan remaja yang kebablasan. Ia adalah refleksi dari tekanan psikologis, dinamika sosial, dan akses informasi berbahaya yang saling bertemu dalam diri seorang remaja. Dalam penyelidikan awal, polisi menemukan bahwa pelaku memiliki riwayat perundungan dan perubahan perilaku yang tidak terbaca oleh lingkungan sekolah. Ia menarik diri, lebih sering menyendiri, menunjukkan ketertarikan pada konten ekstrem, namun tanda-tanda itu berlalu begitu saja tanpa intervensi berarti.
 


Fenomena kekerasan atau perundungan di sekolah Indonesia memasuki fase darurat. Jika pada masa lalu bullying identik dengan ejekan, perundungan psikologis, atau kekerasan fisik ringan, kini eskalasinya melompat ke bentuk ekstrem berupa ancaman bom rakitan, ledakan atau penculikan di lingkungan sekolah, hingga pola imitasi dari kasus kekerasan pelajar di luar negeri. 

Kasus dugaan perakitan bahan peledak oleh siswa SMAN 72 Kelapa Gading yang menimbulkan kepanikan publik bukan sekadar insiden tunggal. Ia adalah tanda bahwa ekosistem psikososial remaja berada di titik rapuh, dan sekolah yang seharusnya menjadi ruang tumbuh berubah menjadi arena konflik yang tak lagi sederhana.

Beberapa tahun terakhir, hal serupa terjadi di luar negeri. Pada 2024, situs abcnews merilis seorang remaja 15 tahun di Maryland ditangkap setelah membuat ancaman peledakan terhadap sekolah menengahnya pada bulan Mei. Di sebuah sekolah Parkland, Florida, AS 17 orang tewas dalam penembakan massal, tersangka adalah bekas siswa yang dikeluarkan bernama Nikolaus Cruz, 19 tahun.  Data resmi yang dirilis oleh Counter Terrorism Policing bekerja sama dengan Home Office menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat total 219 penangkapan terkait tindak terorisme, dan dari jumlah tersebut 42 orang (19 %) adalah individu berusia 17 tahun ke bawah angka tertinggi sejak pencatatan dimulai pada 11 September 2001. 

Sementara itu di Kanada, laporan Public Safety Canada menunjukkan adanya peningkatan ancaman bom oleh pelajar dalam lima tahun terakhir, sebagian dibuat dengan komponen sederhana yang mereka pelajari melalui forum daring. Melihat pola global ini, kemunculan kasus rakitan bom di sekolah Indonesia bukanlah anomali, melainkan bagian dari gelombang global perubahan perilaku kekerasan remaja.
  Perubahan pola ini tidak bisa dilepaskan dari tiga faktor utama. Pertama, memburuknya kesehatan mental remaja yang selama beberapa tahun terakhir menunjukkan tren serius. Laporan terbaru WHO per September 2025, mengungkap bahwa sekitar 1 dari 7 orang berusia 10-19 tahun atau sekitar 14,3% mengalami satu atau lebih gangguan kesehatan mental. Gangguan yang paling umum mencakup depresi, kecemasan, dan perilaku yang bermasalah, serta peran bunuh diri sebagai penyebab kematian utama dalam rentang usia 15-29 tahun.
 
Kedua, deregulasi informasi yang membuat Gen Z memiliki akses tanpa hambatan terhadap konten ekstrem, tutorial berbahaya, hingga ruang digital yang memfasilitasi radikalisasi. Ketiga, absennya respons struktural yang sistematis dari sekolah dan pemerintah dalam mengantisipasi perubahan perilaku kekerasan di lingkungan pendidikan.
 
Insiden SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara menggambarkan betapa kompleksnya konteks kekerasan remaja saat ini. Menurut sejumlah laporan, siswa yang diduga merakit bahan peledak memiliki latar interaksi yang tidak stabil dengan teman sebaya. Meski motif belum sepenuhnya terungkap, fakta bahwa seorang pelajar mampu membuat alat peledak sederhana sudah cukup menunjukkan betapa luas dan mudahnya akses pengetahuan teknis di era digital. 

Lebih jauh, bahwa kekerasan massal di sekolah, termasuk fenomena tawuran terorganisasi dan ledakan perilaku brutal, seringkali berakar pada “alarm kesehatan jiwa remaja yang diabaikan”. Ketika sinyal-sinyal perilaku menyimpang tidak terbaca atau tidak ditangani, ia dapat berkembang menjadi tindakan destruktif. Pertanyaannya adalah mengapa perilaku remaja dapat melompat dari bullying ke tindakan ekstrem seperti penembakan atau bom rakitan? 

Pertama, generasi digital saat ini memiliki akses tanpa batas terhadap informasi teknis, termasuk yang berbahaya. Berbeda dengan era 1990-an, saat pengetahuan merakit bahan peledak hanya dapat ditemukan di buku-buku tertentu atau lingkungan tertentu, kini algoritma internet dapat memberikan berbagai informasi teknis dalam hitungan detik. Meski platform besar telah memperketat kebijakan keamanan, konten bocor, forum anonim, dark web, dan video terarsip sering menjadi sumber pengetahuan teknis yang sulit dikendalikan. Akses ini membuat kemampuan merakit alat berbahaya meski tidak selalu efektif berada dalam jangkauan remaja yang secara psikologis belum matang.
  Kedua, munculnya pola imitasi (copycat effect). Dalam psikologi kriminal, ini dikenal sebagai Werther effectatau contagion effect, di mana publikasi luas terhadap tindakan kekerasan memicu orang lain untuk meniru. Penelitian dari Columbia University pada 2020 mengonfirmasi bahwa setiap kali terjadi penembakan besar di sekolah AS, risiko kejadian baru meningkat dalam dua minggu berikutnya. Dampak imitasi ini dapat bersifat lintas negara, terutama melalui media sosial dan platform video pendek, yang menjadi ruang utama interaksi Gen Z.

Ketiga, absennya sistem deteksi dini di lingkungan sekolah Indonesia. Banyak sekolah belum memiliki konselor profesional, mekanisme asesmen risiko perilaku, atau pelatihan guru dalam mengidentifikasi tanda dini kekerasan ekstrem. Perundungan yang berulang, perubahan perilaku drastis, ketertarikan pada konten ekstrem, hingga isolasi sosial seringkali dianggap “kenakalan remaja biasa”. Padahal di banyak negara, indikator-indikator tersebut menjadi alasan untuk intervensi psikologis dan pemantauan intensif.

Keempat, kesehatan mental remaja berada dalam kondisi paling rapuh dalam dua dekade terakhir. Kementerian Kesehatan RI mencatat sekitar 9,8% remaja Indonesia mengalami gangguan mental emosional, sementara survei ASEAN Youth Development Index menunjukkan lonjakan rasa stres dan keputusasaan di kalangan pelajar pascapandemi. Ketika tekanan akademik, konflik keluarga, dan lingkungan sosial yang keras bertemu dengan akses teknologi berbahaya, potensi timbulnya perilaku ekstrem meningkat signifikan.

Dalam konteks ini, kasus SMAN 72 Jakarta harus dipandang sebagai sinyal peringatan keras. Tidak cukup hanya menindak pelaku atau memperketat barang bawaan siswa. Yang lebih fundamental adalah memperbaiki ekosistem psikososial remaja. Pelaku bukanlah “anak jahat” dalam pengertian klasik. Ia adalah remaja yang tenggelam dalam dunia digital tanpa pagar, yang menyimpan tekanan tanpa ruang untuk bercerita, dan yang akhirnya menemukan “solusi” yang salah melalui pengetahuan teknis yang seharusnya tidak berada di tangannya. Di sinilah urgensi literasi digital, literasi emosional, dan kesehatan mental harus berdiri sebagai pilar utama lingkungan pendidikan.
  Karena ketika seorang remaja mampu merakit bom, itu bukan sekadar masalah teknologi. Itu adalah tanda bahwa ia tidak merasa terlihat, tidak merasa didengar, dan tidak merasa cukup aman untuk mencari pertolongan. Dan ketika sebuah ledakan meletus di sebuah sekolah negeri di Jakarta, itu bukan hanya kegagalan seorang anak. Itu adalah kegagalan semua orang dewasa di sekelilingnya orang tua, guru, lingkungan, hingga negara dalam membangun ekosistem yang seharusnya menjaga mereka.

SMAN 72 Kelapa Gading mungkin akan kembali tenang setelah investigasi selesai dan sekolah diperbaiki. Namun gelombang bawah persoalan ini tidak akan hilang dengan cepat. Tugas semua pihak adalah memastikan bahwa ledakan itu menjadi yang terakhir bukan awal dari rangkaian insiden serupa. Untuk itu, perlu membangun sekolah yang bukan hanya mengajar, tetapi merawat. Ruang yang bukan hanya mengawasi, tetapi memahami. Sistem yang bukan hanya menindak, tetapi mencegah.

Generasi Z tumbuh di dunia yang paling kompetitif, paling terkoneksi, namun juga paling rapuh secara psikososial. Mereka membutuhkan lingkungan yang memahami kerentanannya, bukan menambah tekanan. Mereka membutuhkan sekolah yang mampu membaca luka, bukan hanya nilai rapor. Mereka membutuhkan negara yang hadir sebelum tragedi, bukan setelah semuanya terlambat.

Karena di tengah dunia yang berubah cepat, remaja kita tidak membutuhkan lebih banyak hukuman. Mereka membutuhkan lebih banyak pendampingan. Dan sebelum ledakan berikutnya terjadi entah bom, entah kekerasan lain kita harus memastikan bahwa setiap anak yang merasa sendirian menemukan pintu untuk meminta tolong, sebelum ia mencari jalan keluar yang menghancurkan.{}
 
*Penulis adalah pemerhati isu strategi

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Misbahol Munir)