Safriady, pemerhati isu strategis. Foto: Dok/Pribadi
Oleh: Safriady*
Satu dekade terakhir, paradigma militer global mengalami pergeseran dari perang konvensional menuju era perang hibrida (hybrid warfare), suatu bentuk peperangan yang memadukan kekuatan militer, teknologi informasi, siber, dan psikologis dalam satu ruang operasi multidimensi. NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) mendefinisikan perang hibrida sebagai kombinasi operasi militer konvensional dengan teknik non-linier seperti disinformasi, sabotase, dan serangan siber yang susah dideteksi maupun direspons secara strategis.
Bagi TNI, perubahan ini memiliki implikasi langsung terhadap seluruh matra pertahanan, termasuk Korps Pasukan Gerak Cepat (Korpasgat) TNI UA, yang dahulu dikenal sebagai Korp Pasukan Khas (Paskhas). Kini Korpasgat menghadapi tantangan adaptasi besar yaitu menjaga relevansi di tengah perang modern yang tidak lagi hanya terjadi di udara, tetapi juga di dunia maya, ruang angkasa, hingga ruang informasi.
Dalam konteks geopolitik Indo-Pasifik yang kian dinamis, hal ini ditandai dengan meningkatnya rivalitas Tiongkok-Amerika Serikat. Paerlombaan teknologi drone, dan simulasi peperangan berbasis kecerdasasn buatan (AI), pada akhirnya menutut Korpasgat mentransformasi diri menjadi kekuatan udara yang adaptif, melek digital, dan multidomain.
Berangkat dari Perpres Nomor 84 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Perpres 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI, dimana Presiden Prabowo memvalidasi organisasi TNI, salah satunya adalah Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) berubah menjadi Korps Pasukan Gerak Cepat (Korpasgat). Pasal 59C menyatakan, Korpasgat menyelengarakan operasi udara khusus, operasi pertahanan udara dan operasi lainnya dalam rangka OMP (operasi militer perang) dan OMSP (operasi militer selain perang) sesuai dengan kebijakan panglima.
Salah satu yang menarik untuk dibahas, apakah validasi organisasi Korpasgat ini sesuai dengan kebutuhan operasi militer atau perang massa depan? Dimana perubahan doktrin dan tantangan lanskap keamanan global begitu cepat.
Penulis mencoba mengulas konsep
smart mobility dalam operasi udara modern di era
hybrid warfare, menekankan perlunya Korpasgat memiliki kompetensi digital, otonomi taktis berbasis AI, dan interoperabilitas dengan sistem drone serta pertahanan udara otomatis. Juga dikaitkan dengan pandangan lembaga riset internasional seperti RAND Corporation mengenai AI dan logistik militer
Relevansi Korpasgat di Era Hybrid Warfare
Transformasi Korpasgat pada 2025 ini bukan sekadar perubahan nomenklatur, melainkan reorientasi strategis. Korpasgat kini memiliki tiga mandat utama.
Pertama,
airfield seizure and defense (merebut dan mempertahankan pangkalan udara vital).
Kedua,
airborne and special operations (melaksanakan operasi lintas udara dan infiltrasi cepat). Dan
ketiga, air defense ground support (mendukung pertahanan udara melalui radar darat, komunikasi, dan anti-sabotase).
Namun, di era
hybrid warfare seluruh pangkalan udara berperan multifungsi, bukan hanya landasan fisik, tetapi juga pusat data, komunikasi, dan sistem digital pertahanan. Serangan siber terhadap radar, jaringan komando, atau sistem kontrol penerbangan bisa melumpuhkan kekuatan udara tanpa tembakan satu pun.
Sebagaimana dilansir portal berita daring
Kompas.com (21/9/2025) dan CNBC (28/7/2025) sejumlah bandara di Eropa terkena serangan siber yang berakibat operasional penerbangan lumpuh total. Imbasnya seluruh
check-in harus dilakukan secara manual dan menyebabkan keterlambatan dan pembatalan lanjutan.
Kembali pada
hybrid warfare yang merupakan kombinasi antara operasi militer konvensional dengan serangan non-konvensional seperti siber, disinformasi, sabotase infrastruktur, dan eksploitasi opini publik. Menurut CSIS (2024), bentuk perang ini berfokus pada
disrupting (mengacaukan),
deceiving (menipu), dan
denying (mengaburkan fakta) bukan semata menghancurkan secara fisik.
Pada konteks ini, kekuatan udara seperti TNI AU harus memiliki resiliensi digital yang tinggi. Serangan
jamming, GPS
spoofing, hingga penyusupan ke sistem radar satelit kini menjadi bagian dari strategi modern. Karena itu, Korpasgat memegang peranan vital dalam menjaga konektivitas dan integritas sistem pertahanan udara nasional.
Konsep Smart Mobility dan Operasi Udara Modern
Perang udara masa kini dimulai dari ruang siber.
Cyberattack terhadap radar, GPS, atau jaringan komunikasi dapat mengacaukan operasi udara tanpa kontak fisik (Garraway, 2023). Dalam merespons situasi ini, Korpasgat harus meningkatkan dan mengembangkan kemampuan
electronic warfare (EW) dan
counter-drone operations dengan sejumlah inisiatif baru seperti,
portable drone jammer system untuk menetralkan UAV (pesawat nirawak) musuh yang menyerang pangkalan udara,
miniatur radar system dengan integrasi
AI-based analytics untuk mendeteksi anomali penerbangan,
quick reaction cyber unit yang menangani potensi serangan digital terhadap sistem kontrol udara. Dengan pengembangan ini, Korpasgat tidak hanya menjadi pasukan perebut pangkalan, tetapi juga komando udara-siber dengan kemampuan pertahanan berlapis.
Konsep
smart mobility memiliki beberapa hal kunci antara lain:
Pertama, mobilitas fisik cepat dan fleksibel. Yakni memiliki kemampuan berpindah dari satu chek poin ke poin lain via udara maupun laut secara cepat,
stealthy(tersembunyi), dan responsif.
Kedua, logistik berbasis AI dan otomatisasi. Memiliki sistem logistik yang dipercepat oleh AI untuk merencanakan rute, mengelola stok, memprediksi kebutuhan, dan menyesuaikan dalam waktu nyata. Termasuk pengamanan rute supplay chain.
Ketiga, komunikasi aman dan koordinasi real-time antar-domain
. Riset terkini ditemukan bahwa jaringan komunikasi taktis yang digerakkan AI memungkinkan adaptasi sinyal, alokasi spektrum, dan koordinasi multi-agent antar unit. Dan
keempat, otonomi taktis berbasis AI dan interoperabilitas. Penggunaan drone serta sistem pertahanan udara otomatis, dimana kemampuan berpindah harus dipadukan dengan sistem drone (UAV), sistem pertahanan udara otomatis (
air defense), dan pengambilan keputusan taktis yang cepat dengan bantuan AI.
Dengan demikian, Korpasgat tidak hanya sekadar diterjunkan cepat, tetapi terjun cepat, dengan logistik cerdas, komunikasi aman, interoperabilitas domain, dan keputusan hampir otomatis.
Tantangan dan Hambatan Implementasi
Walaupun visi
smart mobility dalam operasi udara modern menawarkan prospek luar biasa bagi efektivitas tempur dan efisiensi logistik, pelaksanaannya tidaklah mulus. Transformasi dari sekadar mobilitas menuju
smart mobility bukan hanya investasi teknologi, tetapi juga menuntut perubahan paradigma, struktur organisasi, dan budaya operasi serta ekosistem pertahanan nasional secara menyeluruh di tubuh Korpasgat.
Pertama, tantangan utama terletak pada kesiapan infrastruktur digital militer. Konsep
smart mobility berbasis jaringan menuntut sistem komunikasi dan komando yang sangat andal, aman, dan terintegrasi lintas-matra. Di Indonesia, sistem komunikasi taktis antarsatuan udara, darat, dan laut masih menghadapi persoalan interoperabilitas. Data yang dikumpulkan oleh pesawat nirawak (UAV), sensor radar, dan unit lapangan sering kali tersimpan dalam sistem yang berbeda tanpa platform integrasi
real-time. Akibatnya, proses pengambilan keputusan di lapangan masih bergantung pada komunikasi manual dan
human relay, bukan pada
machine-to-machine communication seperti dalam operasi militer modern (TNI AU, 2023).
Kedua, kesenjangan kompetensi sumber daya manusia (SDM) menjadi hambatan yang signifikan.
Smart mobilitymengandaikan personel yang tidak hanya mahir dalam aspek teknis penerbangan dan operasi taktis. Dalam konteks Korpasgat, yang memiliki tradisi kuat dalam operasi mobilitas udara konvensional, adaptasi terhadap teknologi otonom dan sistem cerdas membutuhkan program pelatihan intensif. Personel teknis udara di Indonesia masih memerlukan peningkatan kompetensi dalam bidang
data analytics,
network security, dan
automated mission control systems.
Ketiga, isu keamanan siber dan kerentanan data menjadi ancaman laten bagi seluruh sistem
smart mobility. Ketergantungan pada jaringan digital membuat setiap node komunikasi menjadi potensi titik serang (
attack vector) bagi musuh. Dalam era
hybrid warfare, ancaman terhadap sistem operasi tidak lagi hanya berupa sabotase fisik, tetapi juga infiltrasi algoritma, manipulasi data navigasi, atau penyadapan komunikasi berbasis AI. Berdasarkan data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Indonesia mengalami lonjakan serangan siber yang signifikan. Pada tahun 2023, tercatat lebih dari 12,279 juta serangan siber yang menyasar berbagai sektor di Indonesia.
Keempat, keterbatasan anggaran dan prioritas alokasi sumber daya pertahanan menjadi realitas yang tak bisa dihindari. Pengembangan
platform smart mobility menuntut investasi besar dalam
sensor fusion,
cloud military architecture, dan
AI-based logistics. Dengan demikian, penerapan penuh sistem
smart mobility menuntut strategi investasi bertahap, kemitraan industri pertahanan nasional, serta kolaborasi dengan lembaga penelitian sipil yang memiliki keunggulan di bidang teknologi informasi dan kecerdasan buatan.
Terakhir, tantangan regulasi dan doktrin militer. Perubahan menuju
smart operation mobility memerlukan perubahan atas doktrin lama yang berbasis pada struktur hirarkis dan pengambilan keputusan sentralistik. Tanpa kerangka regulatif yang jelas, penggunaan
AI mission planner atau sistem
predictive logistics bisa menimbulkan dilema etis dan tanggung jawab hukum di masa depan.
Dari Langit ke Data, Paradigma Baru Pertahanan Udara
Pergeseran paradigma dari pertahanan langit menuju pertahanan data menuntut Korpasgat menjadi pasukan multidomain yang mampu beroperasi di udara dan siber secara simultan. Pangkalan udara kini berperan ganda, bukan sekadar tempat take-off pesawat, tetapi juga simpul data dan komunikasi strategis nasional.
Menghadapi era
hybrid warfare dan transformasi cepat teknologi militer, Korpasgat harus melangkah dari konsep mobilitas menuju
smart mobility, bukan sekadar bergerak cepat, tetapi bergerak cerdas, terhubung, otomatis, dan multi-domain. Transformasi ini menuntut pembangunan kompetensi digital, otonomi taktis berbasis AI, interoperabilitas dengan drone dan sistem pertahanan udara otomatis, serta logistik cerdas yang mendukung operasi udara modern dan amfibi.
Jika dijalankan dengan
roadmap yang jelas, investasi sumber daya manusia dan teknologi yang tepat, serta integrasi dengan strategi pertahanan nasional yang lebih luas, Korpasgat akan mampu mempertahankan relevansinya dan memperkuat postur pertahanan Indonesia menghadapi 2030 dan seterusnya.[]
*Penulis adalah pemerhati isu strategis