Dua anak Panji Gumilang, pemilik Pondok Pesantren Al Zaytun, kembali diperiksa dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Bareskrim Polri Jakarta Selatan pada Jumat (28/7/2023). Keduanya diperiksa sebagai saksi dalam penyelidikan dugaan TPPU yang dilakukan oleh Panji Gumilang.
Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Whisnu Hermawan mengatakan kedua anak Panji yakni IP selaku ketua pengurus Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) atau Al-Zaytun dan APU sebagai sekretaris pengurus YPI.
Selain itu ada delapan saksi lainnya yang juga akan diperiksa. Enam saksi ini di antaranya IS sebagai bendahara YPI, AH selaku pembina anggota 1 YPI, MGA sebagai ketua pengawas YPI, MN selaku pembina anggota 2 YPI, MAS selaku pembina anggota 3 YPI dan AS sebagai pengurus YPI.
Dua anak Panji dan enam orang ini sejatinya diperiksa pada Selasa 25 Juli, namun mereka tidak hadir.
Dittipideksus Bareskrim Polri juga memeriksa dua komisaris PT Samudra Biru Bangun Kencana (SMBK). Mereka sedianya diperiksa pada Rabu 26 Juli lalu, namun meminta pemeriksaan dijadwalkan ulang pada Jumat hari ini ya ini yaitu 28 Juli.
Kedua saksi itu adalah AFA dan MYR yang masing-masing merupakan komisaris dan komisaris Utama PT SMBK. Keduanya memiliki hubungan dengan Panji Gumilang sebagai anggota.
Perjalanan Kasus Panji Gumilang
Kasus TPPU ini sendiri diselidiki berbekal laporan hasil Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang diberikan ke Polri. Dalam laporan tersebut diduga ada tindakan
pidana yang dilakukan oleh Panji Gumilang.
Kasus Panji Gumilang telah naik ke tahap penyidikan. Total ada 50 saksi diperiksa dalam proses penyidikan 30 saksi dan 20 saksi ahli. Polisi juga telah mengantongi hasil uji bukti di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Bareskrim Polri mengantongi tiga unsur pidana yang diduga dilakukan Panji Gumilang setelah gelar perkara dalam tahap penyelidikan. Pertama, Pasal 156 A KUHP tentang Penistaan Agama. Kedua, Pasal 45A ayat (2) Jo 28 ayat 2 Indang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Beleid itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Ketiga, Pasal 14 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur seputar berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.