24 September 2023 20:19
Penggunaan alat negara dalam ranah politik praktis menuai polemik. Operasi intelijen semestinya terbatas untuk mengantisipasi gangguan keamanan, bukan untuk mengetahui isi 'dapur' kawan maupun lawan.
Namun, ada pula yang setuju bila Presiden mendapat laporan intelijen mengenai manuver partai politik.
Pengakuan Presiden Joko Widodo soal mengetahui 'dapur' setiap parpol melalui laporan intelijen disampaikan saat membuka Rakernas Kelompok Relawan Pendukungnya di Bogor, Jawa Barat, pekan lalu. Pernyataan Presiden itu langsung menuai kritik.
Amnesty Internasional menyebut operasi intelijen hanya boleh dilakukan bila ada ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan negara. Sementara, wakil rakyat menilai Presiden bertindak tidak adil bila menggunakan laporan intelijen dalam kapasitas petugas partai.
Analis politik menilai tidak ada yang aneh dengan Presiden menerima laporan intelijen. Namun, konteks pengungkapan data intelijen di panggung relawan merupakan pelanggaran etika karena dapat dipersepsikan sebagai upaya menggertak kekuatan politik tertentu.
"Ini menunjukkan Pak Jokowi masih berusaha cawe-cawe di depan pendukungnya untuk mengarahkan dukungan-dukungan. Ini menurut saya pelanggaran etika," kata analis politik Syahganda Nainggolan.
PDIP juga menentang penggunaan aparat intelijen untuk memantau denamika partai politik. Ketua DPP PDIP Said Abdullah menyatakan, parpol punya kekdaulatan sebagai pilar demokrasi.
"Sebagai partai politik, kami punya otonom, kami punya kedaulatan, kami bukan musuh negara. Partai politik bukan objek intelijen, dia adalah pilar demokrasi," kata Said Abdullah.