24 November 2025 23:34
Keluarga mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP), Ira Puspadewi, melayangkan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto. Langkah ini diambil setelah Ira dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim terkait kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara.
Dalam surat terbuka tersebut, suami Ira Puspadewi memohon agar Presiden memberikan perlindungan hukum bagi istrinya serta dua mantan direksi lainnya, Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Pihak keluarga bersikukuh bahwa ketiga pejabat tersebut tidak melakukan kejahatan apa pun dalam keputusan bisnis yang diambil.
"Maka di kesempatan ini perkenankan kami memohon Bapak Presiden memberi perlindungan hukum pada Ira Puspadewi, Muhammad Yusuf Hadi, dan Harry Muhammad Adhi Caksono. Mereka bertiga tidak berbuat kejahatan apa pun. Mohon bantu mereka dapat menghirup udara merdeka pada 10 windu republik tercinta ini," bunyi kutipan surat tersebut.
Permohonan keluarga ini didasari oleh adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dalam putusan hakim. Ketua Majelis Hakim, Sunoto, berpendapat bahwa Ira dan rekan-rekannya seharusnya divonis lepas (ontslag van alle rechtsvervolging).
Menurut Hakim Sunoto, tindakan akuisisi PT Jembatan Nusantara merupakan ranah keputusan bisnis korporasi dan tidak memenuhi unsur pidana korupsi. Meski demikian, suara mayoritas hakim anggota tetap memutus Ira bersalah karena dinilai merugikan negara.
Ira Puspadewi sendiri dalam pembelaannya menegaskan bahwa akuisisi tersebut adalah langkah strategis untuk memperkuat ASDP, bukan untuk keuntungan pribadi.
"Tidak ada sesen pun keuntungan pribadi yang kami ambil. Akuisisi ini aksi strategis, karena kami mendapatkan perusahaan dengan izin trayek komersial yang sudah moratorium sejak 2017. Ini memperkuat posisi ASDP untuk melakukan subsidi silang bagi daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar)," jelas Ira.
KPK: Ada Pengkondisian Valuasi
Menanggapi pembelaan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap pada pendiriannya bahwa telah terjadi kerugian negara sebesar Rp1,25 triliun. Juru bicara KPK menjelaskan bahwa kerugian tersebut timbul akibat perbuatan melawan hukum, yakni adanya rekayasa dalam proses penilaian harga (valuasi) aset.
"Ada rekayasa dan pengkondisian yang dilakukan baik pada tahap proses maupun hasil saat dilakukan valuasi terhadap aset-aset yang akan diakuisisi," ungkap Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.
KPK juga menyoroti kondisi kapal-kapal milik PT Jembatan Nusantara yang dibeli ASDP. Kapal-kapal tersebut, kata KPK, adalah kapal tua yang kualitas dan masa manfaatnya tidak optimal. KPK juga mengklaim memiliki bukti percakapan yang menguatkan fakta pengkondisian tersebut.