Kemacetan terus melanda kawasan Ibu Kota Jakarta. Kemacetan bertambah parah jika dibandingkan dengan kondisi jalan sebelum situasi pandemi. Terus bertambahnya jumlah kendaraan di jalan raya disebut-sebut menjadi penyebab utama kemacetan yang tak kunjung terurai di jam-jam sibuk.
Setelah aktivitas masyarakat kembali normal 100% usai pencabutan PPKM, banyak warga yang mengeluh Jakarta semakin macet. Kemacetan Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, baru-baru ini juga jadi sorotan Presiden Joko Widodo yang menyebut kemacetan terjadi di mana-mana.
Penyebab kemacetan Jakarta sebetulnya ada beberapa faktor. Namun yang menyumbang cukup signifikan adalah karena peningkatan jumlah kendaraan yang tidak bisa diimbangi dengan jumlah ruas jalan.
Tidak hanya itu, kemacetan bertambah parah ketika ada faktor insidental lain, seperti kecelakaan, kondisi cuaca, atau sedang ada proyek pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang terpaksa menghambat lalu lintas.
Kemacetan Jakarta juga bisa menimbulkan berbagai kerugian ekonomi. Bank Dunia memperkirakan kerugian ekonomi akibat kemacetan Jakarta bisa mencapai Rp65 triliun per tahun, akibat pemborosan energi. Belum lagi kerugian waktu yang bisa berdampak pada produktivitas kerja.
Misalnya saja, perjalanan dari Cibubur ke Bundaran HI yang berjarak 29 kilometer memakan waktu kurang lebih dua jam. Padahal estimasi sebelumnya yang dibutuhkan untuk sampai ke Bundaran HI dari Cibubur hanya satu setengah jam.
Pantas saja kalau dikatakan indeks kemacetan di Jakarta sudah tembus angka 50%. Dibutuhkan waktu setengah kali lebih lama di perjalanan dari pada yang diperkirakan sebelumnya.
Solusi dari kemacetan Jakarta masih terus dirumuskan, misalnya dengan imbauan beralih ke transportasi publik, pengaturan ganjil-genap, rencana jalan berbayar, sampai imbauan bagi perusahaan-perusahaan untuk mengatur jam kerja karyawan agar tidak semuanya tumpah ruah di jalan. Namun semua solusi tersebut belum bisa mengatasi kemacetan di Jakarta.