Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyoroti kebijakan Presiden Prabowo Subianto terkait rencana pelonggaran Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) serta penghapusan kuota impor sebagai langkah negosiasi dagang. Faisal menilai kebijakan tersebut berpotensi memperparah kondisi pasar domestik karena membuka pintu lebih lebar bagi produk impor, baik legal maupun ilegal.
Menurut Faisal, momentum penundaan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) selama 90 hari harusnya dimanfaatkan Indonesia untuk menyusun strategi yang lebih tajam, matang, dan terukur. Ia mengkritik pendekatan pemerintah yang dinilainya terlalu tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang dari lonjakan impor terhadap industri dalam negeri.
“Kalau kemudian responsnya itu one size fits all langsung dilonggarkan saja hambatan impor, tidak perlu TKDN, ini bisa jadi blunder. Ini justru berpotensi jadi bumerang karena kalkulasinya tidak matang,” ujar Faisal dikutip dari tayangan Prioritas Indonesia, Metro TV, Kamis, 10 April 2025.
Faisal juga menyinggung bahwa pemerintah belum menunjukkan strategi yang spesifik dalam menghadapi potensi lonjakan impor. Padahal, gejala itu sudah terjadi bahkan sebelum kebijakan tarif diumumkan oleh AS. Ia menyebut beberapa industri di Indonesia sudah terdampak, hingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (
PHK), akibat serbuan produk impor.
Ia menambahkan, jika pemerintah ingin bernegosiasi dengan
Amerika Serikat, maka langkah yang diambil harus berdasarkan kalkulasi mendalam. Pemerintah perlu mengidentifikasi produk ekspor Indonesia yang sangat bergantung pada pasar AS, seperti produk olahan udang, kepiting, pakaian wanita, sepatu olahraga, hingga ban karet, beberapa di antaranya memiliki ketergantungan ekspor lebih dari 70 persen.
“Kalau kita minta keringanan tarif, kita juga harus siap-siap terhadap apa yang akan diminta balik oleh mereka. Jangan sampai semua permintaan mereka kita terima, padahal dampaknya besar, apalagi untuk sektor pertanian yang sensitif seperti beras,” ungkap Faisal.
Ia menegaskan pentingnya memilah produk-produk yang masuk dalam kategori
sensitive dan
very sensitive agar tidak dikorbankan dalam perundingan dagang. Pemerintah, kata Faisal, perlu menyusun peta jalan negosiasi yang tidak hanya pro-ekspor, tetapi juga menjaga keseimbangan pasar dalam negeri agar tidak tergerus oleh banjir impor.
Pernyataan ini muncul di tengah perdebatan publik soal strategi dagang Indonesia menyusul kebijakan tarif global dari AS dan rencana pemerintah untuk merespons dengan relaksasi aturan impor.
(Tamara Sanny)