Keindahan alam bawah air di Raja Ampat, Papua Barat Daya, berpotensi hilang karena ada aktivitas tambang nikel yang berlokasi di sekitarnya. Banyak pihak menyoroti aksi ini. Salah satunya Anggota DPR RI Dapil Papua Barat Daya, Rico Sia.
Rico Sia meminta pemerintah untuk tegas menghentikan praktik tambang di lokasi wisata ini. Ia juga meminta pemerintah harus lebih memperhatikan wisata di Raja Ampat agar tidak rusak.
Dugaan eksploitasi nikel
Dalam keterangan resmi Greenpeace disebutkan, adanya dugaan eksploitasi
nikel di tiga pulau di sekitar Raja Ampat, yakni di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Aktivitas tambang tersebut dikatakan telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
Sejumlah dokumentasi yang dihimpun
Greenpeace menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100 ribu.
"Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal," ujar Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik dalam keterangannya, Selasa, 3 Juni 2025.
Dia menyebut industrialisasi nikel yang makin masif, seiring tren naiknya permintaan mobil listrik dinilai telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi.
"Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” kata Iqbal.