Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, menyambut baik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah oleh lewat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Dalam putusannya, MK mengurangi syarat minimal ambang batas parpol bisa mengusung kandidat di pilkada.
Feri menyebut, Putusan MK tersebut membuka keran demokrasi sekaligus memberikan efek kejut yang sangat baik. Melalui putusan tersebut, potensi calon tunggal di Pilkada menjadi sangat minim.
"Awalnya potensi (kotak kosong) dua kali lipat, Perludem misalnya mengatakan, akan ada dua kali lipat (kotak kosong) dibanding 2020. Lebih dari 50 pasangan calon tunggal karena praktik membeli seluruh perahu. Nah dengan putusan ini, potensi itu akan meredup. MK memperbaiki banyak hal," tutur Feri.
Feri juga mengingatkan bahwa putusan MK telah berkekuatan hukum tetap sejak dibacakan. Sebab, MK tidak menyebut adanya klausul penundaan.
Sementara, Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta Burhanuddin Muhtadi menyoroti Putusan MK No 60 tersebut berpotensi kuat mengubah konstelasi politik Pilkada, terutama di Jakarta. Terlebih, deklarasi pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang dilakukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus masih bisa berubah karena belum didaftarkan ke KPU.
"Jangan lupa setelah Putusan MK ini, ada delapan partai politik yang bisa mencalonkan sendiri tanpa harus berkoalisi di Jakarta. Artinya, sangat mungkin terjadi dinamika di internal KIM Plus," ucap Burhanuddin.
MK mengubah tafsir Pasal 40 ayat (1) dari yang sebelumnya mematok ambang batas pencalonan bagi partai politik atau gabungan partai politik sebesar 20% jumlah kursi atau 25% akumulasi perolehan suara sah pada DPRD. Lewat Putusan Nomor 60, ambang batas itu disesuaikan dengan syarat dukungan calon perseorangan atau independen untuk menciptakan keadilan.
Hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengatakan, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik mesti diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Bagi MK, sambungnya, mempertahankan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada itu sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir bagi semua partai politik peserta pemilu.
Selain menurunkan ambang batas, MK juga tidak memberlakukan lagi syarat dukungan untuk mengusung pasangan calon yang sebelumnya hanya menjadi hak partai politik berkursi di DPRD. Enny menyebut, aturan dalam Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada tersebut tidak sejalan dengan maksud UUD 1945 yang mengharapkan kepala daerah dipilih secara demokratis.