NEWSTICKER

Robohnya Keagungan Mahkamah

N/A • 12 May 2023 07:54

Sesuai dengan namanya, Mahkamah Agung, ia ialah personifikasi dari sebuah lembaga yang agung. Keagungan itu semestinya tecermin pada semua hal yang ada di dalamnya. 

Tidak hanya dari kebijakan atau keputusan yang dihasilkan lembaga itu, tetapi juga tindak-tanduk dari orang-orang yang menghasilkan keputusan tersebut. Dalam praktiknya itu memang tidak mudah. Tidak segampang yang diucapkan. 

Sudah berkali-kali Mahkamah Agung (MA) justru mengingkari keagungan mereka. Lembaga yang juga kerap dianalogikan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan itu ternyata tidak sekukuh yang kita harapkan. Keagungan lembaga itu teramat mudah tergadai oleh korupsi dan suap. 

Kasus dugaan korupsi, suap, dan bahkan tindak pidana pencucian uang (TPPU) bertubi-tubi menjerat MA. Pelakunya bukan orang lain, melainkan orang-orang mereka sendiri, pejabat mereka sendiri. Mereka sangat paham bagaimana hukum harus ditegakkan, terutama untuk kejahatan luar biasa seperti korupsi, tetapi malah tanpa malu-malu mengkhianatinya. 

Penetapan tersangka terhadap Sekretaris MA Hasbi Hasan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus dugaan suap penanganan perkara lagi-lagi memberi bukti komitmen MA terhadap pemberantasan korupsi layak dipertanyakan. Mengapa? Karena Hasbi bukan contoh satu-satunya. 

Kasus itu hanyalah rentetan dari banyak kasus dugaan suap dan korupsi lain yang melibatkan orang-orang penting di MA. Sebelum Hasbi, dua hakim agung MA, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, sudah lebih dulu menjadi pesakitan di KPK. Sudrajad malah sudah dijatuhi hukuman pidana 13 tahun penjara dalam kasus dugaan suap penanganan perkara kasasi pailit KSP Intidana. 

Sebelum itu, 'senior' Hasbi di posisi Sekretaris MA, yaitu Nurhadi, bahkan lebih serakah. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap, gratifikasi, dan TPPU, juga dalam kaitan dengan penanganan perkara. Nurhadi bahkan sempat berkelit dari jeratan hukum melalui jaringan yang dia punya baik di politik maupun kepolisian. Cerita akhirnya pun indah bagi Nurhadi karena ia hanya mendapat hukuman ringan 6 tahun penjara. 

Berkali-kali kasus menerpa MA, berkali-kali itu pula kita selalu mendesak sang benteng keadilan itu memperkuat tembok dan fondasi mereka agar tak tembus lilitan jahat rasuah. Setiap kali memberitakan kasus korupsi di lingkungan MA, saat itu pula kita selalu mengingatkan agar lembaga itu mereformasi diri, bahkan bila perlu merevolusi diri. 

Namun, janji reformasi di tubuh MA rupanya selalu menjadi omong kosong belaka. Dari rentetan kasus yang terjadi di lembaga tersebut, kita bisa katakan komitmen MA dalam pemberantasan korupsi senyatanya hampir nihil. Mendekati nol. Tidak terlihat upaya mereka baik untuk mengungkit integritas lembaga maupun orang-orang di dalamnya meski kini sedang berada dalam titik terendah. 

Lantas, bagaimana publik bisa berharap pada sang benteng keadilan kalau mereka tidak punya kehendak untuk berubah? Saat ini harus diakui, MA sedang krisis keteladanan dari para pemimpinnya. Bayangkan saja, hakim agung korupsi, sekretaris lembaga pun korupsi, lalu keteladanan macam apa yang mereka tunjukkan? 

Karena itu, tidak ada cara lain, MA harus segera melakukan perubahan mendasar dalam beberapa aspek demi menjauhkan lembaga itu dari korupsi sekaligus mengembalikan muruah yang tercoreng. Tata kelola lembaga, terutama yang berkait dengan iktikad untuk mencegah sekaligus memberangus korupsi harus diperbaiki. 

Pola pembinaan, pengawasan, hingga manajemen harus direformasi dengan serius, bukan ala kadarnya. Tanpa keseriusan, jangan pula kita kaget di waktu mendatang, kasus-kasus yang melibatkan pejabat MA akan terus bermunculan.
(Heri Dwi Okta R)