Pasca pilpres 2024 lalu, nama Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto terus mencuat terseret kasus korupsi yang dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hasto Kristiyanto sendiri sudah dua kali dipanggil KPK menjadi saksi untuk dua kasus yang berbeda. Pemeriksaan pertama pada 10 Juni 2024 sebagai saksi untuk kasus suap penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 dengan tersangka Harun Masiku, yang saat sampai saat ini masih buron. Pemeriksaan terhadap Hasto di Juni lalu itu merupakan pemeriksaan yang ketiga sejak Januari, Februari dan Juni dalam kasus yang sama.
Selanjutnya 19 Juli 2024, Ia pun juga dipanggil KPK untuk saksi kasus korupsi pembangunan dan perawatan jalur kereta di Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub. Namun pada saat itu, Hasto tidak bisa hadir karena sudah memiliki agenda lainnya. Dalam kasus DJKA, Hasto dipanggil dalam kapasitasnya sebagai konsultan.
Kasus Harun Masiku
KPK saat ini sudah mencekal lima orang ke luar negeri yang berlaku selama enam bulan ke depan. Pencekalan ini sesuai dengan SK Nomor 942/2024 tentang Larangan Bepergian ke Luar Negeri.
Di antara lima orang yang dicekal itu salah satunya adalah staf Hasto Kristiyanto yang bernama Kusnadi (K). Dalam pemeriksaan sebelumnya Kusnaidi ini sempat menyatakan pernah bertemu Harun Masiku
Ketiga lainnya merupakan pengacara PDI Perjuangan, Simeon Petrus (SP), Yanuar Prawira Wasesa (YPW) dan Donny Tri Istikomah (DTI); serta mantan istri Saeful Bahri (SB), Dona Berisa (DB). Saeful Bahri sendiri merupakan kader PDI Perjuangan yang dulu diduga sebagai orang dekat dari Hasto Kristiyanto yang menyerahkan uang suap kepada Wahyu Setiawan.
Peran Hasto dalam Kasus Harun Masiku
Hasto Kristiyanto dan juga Harun Masiku sama-sama politisi dari PDI Perjuangan. Keterkaitan mereka bermula ketika caleg PDIP Dapil Sumsel I, Nazarudin Kiemas, meninggal dunia. KPU lantas memutuskan perolehan suara Nazarudin, yang merupakan suara mayoritas di Dapil tersebut, dialihkan ke caleg PDIP yang lainnya yaitu Riezky Aprilia.
Tapi ternyata aturan KPU tersebut mendapatkan pandangan yang berbeda. Pada Rapat Pleno PDIP Juli 2019 memutuskan Harun Masiku sebagai caleg pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin.
Hasto selaku Sekjen PDIP meminta Donny Tri Istiqomah yang menjabat penasihat hukum partai mengajukan surat permohonan ke KPU. Namun KPU menolak Saeful Bahri yang disebut sebagai kader PDI Perjuangan dan orang kepercayaan Hasto, menghubungi eks anggota Bawaslu Agustiani Tio, sehingga bisa mengenal komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Wahyu Setiawan disebut meminta uang Rp900 juta untuk menggolkan Harun Masiku melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW) di KPU. Sesuai permintaannya Wahyu menerima Rp200 juta dan Rp400 juta dalam bentuk dollar Singapura dari Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio.
Lalu pada 8 Januari 2020, delapan orang ditangkap dalam operasi tangkap tangan operasi senyap KPK dalam kasus Harun masiku. Kedelapan orang ini sudah disidang. Wahyu Setiawan sendiri divonis 7 tahun penjara, namun sudah bebas bersyarat pada 2021. Sementara hingga kini tersangka Harun Masiku masih buron.
Sebenarnya KPK sendiri sudah sempat akan menangkap Harun Masiku pada Januari 2024, namun gagal. Karena ternyata pada saat itu pihak kepolisian sendiri sudah mengendus kasus ini dan juga melakukan penangkapan terhadap para penyidik yang ingin menangkap Harun Masiku.
Apapun yang dilakukan KPK tentu saja harus didukung untuk memberantas korupsi. Tapi di saat yang sama, hal ini juga menjadi bumerang bagi KPK karena dinilai sangat erat dengan isu-isu politisasi, apalagi ini jelang Pilkada.