Proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur ialah proyek mercusuar pemerintahan Presiden Joko Widodo. Butuh biaya superjumbo sebanyak Rp466 triliun untuk merampungkan proyek IKN pada 2045. Untuk permulaan pada 2022, pemerintah merogoh dana APBN Rp5,1 triliun. Sementara itu, untuk tahun ini, Badan Anggaran DPR sudah menyetujui anggaran Rp37 triliun.
Presiden Joko Widodo pun membanggakannya sebagai proyek terbesar di dunia saat ini. Namun, rupanya dengan anggaran yang bergunung-gunung itu, bukan lagi segunung, persiapan proyek IKN belum benar-benar matang alias baru setengah jadi. Ternyata, masih banyak persoalan yang harus dituntaskan agar proyek ini bisa berjalan mulus.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan ada lima isu dan tantangan baru yang belum cukup terakomodasi pengaturannya dalam UU IKN.
Kelima isu dan tantangan baru tersebut ialah, pertama, perbedaan interpretasi dalam memahami kewenangan khusus yang dimiliki oleh otorita IKN terkait tugas dan fungsinya. Kedua, kedudukan otorita IKN sebagai pengguna anggaran dan pengguna barang, serta aspek pembiayaan yang dapat dilakukan secara mandiri sebagai pemerintah daerah khusus.
Ketiga, pengaturan spesifik mengenai pengakuan hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai masyarakat. "Pun penataan ulang tanah untuk memastikan pengelolaan wilayah oleh otorita dan pemerintah daerah di sekitar IKN Nusantara," imbuh Suharso dalam rapat pembicaraan tingkat satu pembahasan RUU Perubahan UU IKN antara pemerintah dan Komisi II DPR RI, Senin (21/8).
Keempat, pengaturan khusus untuk investor, pengembang perumahan dan hak atas tanah agar investasi di IKN lebih kompetitif. Kelima, kepastian keberlanjutan dan keberlangsungan kegiatan pembangunan IKN serta diperlukannya keterlibatan DPR dalam hal pengawasan. DPR RI menyebut revisi UU IKN ditargetkan beres Oktober 2023.
Oleh karena itu, revisi UU IKN menjadi hal yang krusial. Ada risiko bila UU IKN tak segera direvisi antara lain benturan dengan UU sektoral yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan.
Untuk itu, pemerintah mengajukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN). Padahal, UU itu baru berumur seumur jagung. Revisi UU yang baru setengah tahun disahkan menunjukkan bahwa proyek ini belum benar-benar disiapkan secara matang. Ditemuinya hambatan-hambatan baru mengungkap banyaknya lubang dalam konsep IKN.
Benar petuah orang-orang tua kita dulu. Berpikirlah sebelum bertindak. Prinsip ‘bagaimana nanti’ dipastikan akan membuat susah di kemudian hari. Sebaiknya berprinsiplah ‘nanti bagaimana’ yang artinya kita harus menyiapkan dengan matang dan mengantisipasi segala sesuatunya terkait yang apa akan kita kerjakan. Apalagi untuk untuk proyek yang nilainya ratusan triliun. Tidak bisa trial and error karena koreksi itu mahal harganya.
Bukan hanya proyek IKN yang dikerjakan secara grasa-grusu, proyek lainnya ialah kereta cepat Jakarta-Bandung yang biayanya meledak, bukan lagi menggelembung. Tarifnya pun masih menjadi persoalan. Proyek kereta cepat ini sejak awal studi kelayakannya memang bermasalah.
Pemerintah harus bekerja keras meyakinkan publik baik dalam negeri atau luar negeri bahwa proyek yang diajukan menjadi Proyek Strategis Nasional hingga 2034 itu layak dilanjutkan dengan seabrek bolong-bolong yang ada.
Revisi undang-undang IKN juga menjadi promosi buruk bagi IKN. Di tengah kampanye agresif Presiden Jokowi untuk memperkenalkan IKN dan menarik investasi asing, ternyata pekerjaan rumah paling mendasar belum diselesaikan, yakni aturan dasar soal IKN.
Wajar jika investor berpikir ulang untuk menanamkan modal mereka karena proyek raksasa ini masih setengah matang, tetapi sudah dieksekusi. Tak ada yang menjamin revisi Undang-Undang IKN akan selesai Oktober. Pasalnya, revisi itu memerlukan kajian akademis yang mendalam dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Proyek IKN jangan sampai nikmat membawa sengsara.