Menyusul pelarangan ekspor batu bara pada Januari 2022, pemerintah akan merevisi isi kontrak jangka panjang dengan para pemasok batu baru untuk PLN. Fokus revisi adalah mekanisme pemenuhan komitmen domestic market obligation (DMO) yang bisa dilakukan penyesuaian secara bulanan demi menjamin ketersediaan batu bara di 20 PLTU.
Dasarnya adalah data Kementerian ESDM yang menyebutkan bahwa kepatuhan produsen batu bara di dalam negeri terhadap komitmen DMO tidak lebih 1?ri total kebutuhan 5,1 juta ton. Faktor inilah yang dituding sebagai penyebab krisis stok batu bara di 20 PLTU pada akhir tahun lalu. Padahal total kebutuhan batu bara pada 2022 diperkirakan mencapai 190 juta ton, melonjak dari 137,5 juta ton pada 2021.
Direktur Eksekutif Reforminer, Komaidi Notonegoro, menilai langkah pemerintah melarang ekspor dan revisi kontrak DMO batu bara sangatlah mendadak sehingga berpotensi merugikan perusahaan pertambangan dan pemasok yang terikat kontrak penjualan ke negara lain. Bila pun memang dilakukan, maka tidak cukup hanya penegasan alokasi 20?n harganya. Pemerintah perlu meninjau prosedur menejemen stok batu bara di PLN dalam memperhitungkan kebutuhan jangka panjang sehingga tidak ada permintaan besar-besaran yang mendadak.
"Komitmen pemasok juga perlu ditinjau, apa memang memang masalahnya cuma harga (harga beli PLN vs harga di luar negeri)? Kalau iya, solusinya mungkin perlu dibuka lagi harga per ton yang USD 70 bisa dinego ke USD 80-90," sambungnya.
Detail lain yang perlu dirinci dalam revisi aturan mekanise DMO adalah spesifikasi batu bara yang sesuai kebutuhan mesin-mesin PLTU milik PLN. Bila batu bara yang dihasilkan punya kadar kalori di atas atau di bawah spesifikasi tersebut, apakah dapat dijual ke luar negeri dan bagaimana produsennya harus memenuhi kewajiban DMO.
"Kalau yang kalori tidak sesuai (kebutuhan PLN) boleh diekspor dan yang sesuai tidak boleh diekspor, tentu ini tidak adil," papar Komaidi.