24 September 2023 15:24
Belakangan ini kata "intelejen" jadi trending. Ini gara-gara pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kemudian banyak dikomentari dan ditanggapi oleh berbagai pihak.
Kejadiannya pada Sabtu, 16 September 2023 di acara Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional di Bogor. Presiden Jokowi bilang punya data intelijen soal dalamnya partai itu seperti apa dan tahu arah partai-partai untuk pemilu 2024.
"Kepemimpinan itu sangat menentukan. Saya tahu dalamnya partai seperti apa, ingin mereka menuju ke mana saya juga ngerti," kata Presiden Jokowi.
Pro dan kontra pun muncul. Ada yang bilang ini adalah hal lumrah bila seorang presiden tahu data intelijen. Di sisi lain ada yang mengkritisi dan mempertanyakan kenapa harus partai yang dipantau, bahkan memakai alat intelejen Negara.
Dari pernyataan Presiden Jokowi itu polemik muncul. Presiden punya data intelejen wajar. Tapi kenapa harus diumbar? Dan ini berarti membenarkan bahwa memang ada kegiatan memata-matai parta untuk apa presiden menyampaikan ini?
Tiga hari setelahnya, Presiden klarifikasi pernyataannya yang malah menjadi ramai. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa memang sehari-hari dia mendapatkan laporan dari BIN (Badan Intelejen Negara). Kemudian (BAIS) Badan Intelejen Strategis, dan BIK (Badan Intelijen dan Keamanan) di kepolisian.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengomentari klarifikasi Presiden Jokowi. Menurut Usman, klarifikasi presiden adalah sebuah eufemisme. Hanya untuk menutupi kekeliruan dari ucapan sebelumnya.
Karena pernyataan sebelumnya secara tersurat dan tersirat menjelaskan informasi intelejen dibilang adalah soal kegiatan partai politik. Sehingga memunculkan pertanyaan apa yang begitu berbahaya yang dilakukan partai politik sehingga presiden memantau data intelijen?
Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai pengakuan Presiden Jokowi yang memegang data internal partai politik dari inteijen merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Pernyataan presiden seperti fenomena gunung es dari berbagai wacana atau upaya melestarikan kekuasaan saat ini.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan di antaranya Imparsial, Amnesty Internasional, PBHI, Kontras, Perludem hingga ICW mendatangi Gedung DPR RI. Koalisi tersebut mendesak agar DPR menggunakan hak angket atas dugaan penyalahgunaan intelijen oleh presiden.