Mangkrak Perlindungan Kaum Bedinde

21 June 2023 23:26

Meski bukan mandek, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU – PPRT) lagi-lagi seperti tari poco-poco. Berputar-putar pada tahap pembahasan, sementara janji pengesahan pada masa sidang sekarang ini tampak makin meragukan.

Betul bahwa pembahasan setiap RUU harus detail dan mampu menyelesaikan semua Daftar Isian Masalah (DIM). Hal ini demi dihasilkannya produk UU yang berkualitas, termasuk tidak tumpang tindih dengan UU lainnya. UU yang lemah juga akan mudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK)

Meski begitu kita juga sudah kenyang akan maju-mundurnya pembahasan RUU PPRT. Bukan kali ini saja masuk Prolegnas Prioritas, namun tidak juga berlanjut ke Paripurna DPR. Tidak heran usia pembahasan RUU ini sudah 19 tahun alias salah satu yang terlama dalam sejarah legislasi kita.

Pada Maret lalu, sedikit harapan muncul dengan keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR  membawa RUU PPRT ke Sidang Paripurna berikutnya atau berarti masa persidangan saat ini sampai 13 Juli. Kini, meski harapan lahirnya UU PPRT dapat bertepatan dengan Hari PRT Internasional pada 16 Juni telah lewat, kita tetap menuntut agar DPR tidak ingkar janji.

Apalagi Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT beserta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menyelesaikan finalisasi DIM RUU tersebut pada 15 Mei lalu. Finalisasi DIM yang terdiri dari 367 poin itu juga sudah melibatkan Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT, Komnas Perempuan, Komnas HAM, organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, praktisi, hingga akademisi. DIM RUU PPRT itu kemudian telah diserahkan ke DPR.

Semakin lambatnya proses pembahasan di DPR sama saja dengan pembiaran terhadap perbudakan modern. Bahkan, berkaca dari tingginya korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), DPR semestinya sangat paham jika UU PPRT sudah darurat.

Seperti dilaporkan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP22MI), dalam tiga tahun terakhir mereka menerima 2.204 peti jenazah PMI, atau rerata 2-3 jenazah per hari. Sekitar 90% korban tersebut adalah perempuan dan kebanyakan merupakan PRT.

Belum disahkannya UU PPRT membuat satgas TPPO tidak fokus menargetkan TPPO pada pekerja sektor informal tersebut. Lemahnya perlindungan PRT pun sebenarnya sudah terjadi sejak awal perekrutan yang memang belum adanya aturan tetap bagi penyalur.

Karena itulah RUU PPRT akan menjadi revolusioner karena adanya ancaman pidana bagi penyalur dan pemberi kerja. Segala bentuk diskriminasi, pengancaman, pelecehkan dan/ atau kekerasan fisik dan non fisik akan diancam pidana dan denda ratusan juta rupiah.

Bukan hanya melindungi para PRT saat ini lewat UU PPRT itulah bangsa ini akan membangun profesi PRT sebagai profesi yang bermartabat layaknya profesi lain. Jangan sampai DPR yang semestinya berpihak pada rakyat justru menjadi pelindung terhadap ‘perbudakan modern’.
RUU PPRT sampai saat ini masih tertahan di meja pimpinan wakil rakyat.

Naskah RUU itu tidak akan bergerak jika pimpinan DPR tidak mengusulkan untuk dirapatkan di Badan Musyawarah. Dari Bamus selanjutnya disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Kita mendesak Ketua DPR Puan Maharani mendelegasikan beleid menyangkut perlindungan terhadap sedikitnya 4 juta PRT ke Bamus. Apa lagi yang ditunggu Ibu Puan?

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Silvana Febriari)