Diusut sejak Oktober 2023, kasus importasi gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas 'Tom' Trikasih Lembong akhirnya mencapai babak akhir. Majelis Hakim menjatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp750 juta kepada Tom Lembong.
Perjalanan Kasus Impor Gula
Kejaksaan Agung secara resmi memulai tahap penyidikan kasus korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan periode 2015 hingga 2016 pada Oktober 2023. Setelah hampir setahun melakukan penyidikan dan memeriksa sejumlah saksi, tim penyidik Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) melakukan penggeledahan di kantor Kementerian Perdagangan pada 3 Oktober 2024.
Dari penggeledahan ini, Kejagung menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik yang berkaitan dengan kasus korupsi tersebut.
Penyidik Jampidsus Kejagung kemudian menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka kasus importasi gula pada Selasa, 29 Oktober 2024. Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dilakukan setelah Kejagung memeriksa 90 saksi.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menjelaskan Tom diduga menyalahgunakan wewenang dengan memberikan izin persetujuan impor gula kristal sebanyak 105 ribu ton ke PT AP yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih. Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perindustrian Nomor 257/2004, impor gula kristal hanya diperbolehkan untuk BUMN.
Gula tersebut pun kemudian dijual oleh delapan perusahaan swasta ke pasaran atau masyarakat melalui distributor yang terafiliasi.
Dalam kasus ini, Kejagung menyebut nilai kerugian negara akibat perbuatan importasi gula yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ditaksir mencapai Rp400 miliar.
Setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Tom Lembong langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Penetapan tersangka dan penahanan terhadap Tom Lembong dilakukan seusai Kejagung memeriksa 90 orang saksi.
Lebih dari sepekan ditahan, mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong masih belum tahu di mana kesalahan yang ia buat, atas kebijakan izin impor gula 9 tahun lalu. Untuk itu, pihak Tom Lembong mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk menggugat status tersangkanya pada November 2024.
Kejaksaan Agung (Kejagung) disebut tidak menunjukan dua alat bukti yang cukup, untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula. Selain itu, pihak Tom Lembong juga menilai kasus ini lebih bersifat kebijakan administratif, bukan tindak pidana korupsi.
Namun permohonan tersebut nyatanya ditolak oleh hakim tunggal. Hakim menilai Kejaksaan Agung sudah sesuai prosedur dalam menetapkan dia sebagai tersangka.
20 Saksi Dihadirkan di Persidangan Tom Lembong
Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung menghadirkan 20 orang saksi dalam sidang
kasus korupsi importasi gula Tom Lembong. Di antaranya dari klaster Kemenko Perekonomian dan juga klaster perusahaan gula.
Sementara itu, dari pihak Tom Lembong menghadirkan tiga saksi ahli meringankan. Di antaranya Ahli Pengamat Kebijakan Publik, Antoni Budiawan; Ahli Public Finance, Fitarison; serta Ahli Perpajakan, Haula Rusdiana.
Jaksa juga berusaha untuk menghadirkan saksi mantan Menteri BUMN di era itu, yaitu Rini Mariani Soemarno. Namun dikarenakan berhalangan hadir di persidangan, jaksa kemudian mengajukan permohonan ke hakim agar keterangan Rini dibacakan dalam persidangan.
Namun tim pengacara Tom Lembong menolaknya. Akhirnya terjadi debat panas antara jaksa dan juga pengacara Tom Lembong terkait dengan pembacaan keterangan Rini tersebut.
Kuasa Hukum Tom Lembong merasa kecewa terhadap JPU. Pasalnya, jaksa hanya membacakan keterangan saksi fakta mantan Menteri BUMN Rini Soemarno melalui BAP.
Selain itu, pihak kuasa hukum Tom Lembong juga menyoroti sejumlah kejanggalan yang terus terjadi di persidangan. Mulai dari hakim anggota perkara Tom Lembong yang terseret kasus korupsi hingga sejumlah pihak yang tak dapat hadir langsung sebagai saksi fakta.
"Saya tidak punya banyak pengalaman dengan peradilan. Tapi, saya tidak pernah dengar saksi itu boleh dihadirkan melalui keterangan tertulis," kata Tom Lembong usai persidangan, Selasa, 17 Juni 2025.
Kuasa hukum Tom Lembong pun juga mengkritik keras kegagalan jaksa dalam menghadirkan saksi-saksi kunci yang dianggap bisa menjelaskan konteks kebijakan pada saat itu. Di antaranya Menteri BUMN, Rini Soemarno; atau bahkan Presiden ke-7, Joko Widodo; yang memimpin rapat kabinet saat itu. Menurut mereka ini menunjukkan jaksa hanya fokus untuk menghukum kliennya, tanpa mau membuka gambaran kebijakan secara utuh.
Tom Lembong Dituntut 7 Tahun Penjara dan Denda Rp750 Juta
Dalam kasus ini Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Tom Lembong dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan penjara.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Thomas Trikasih Lembong oleh karena itu dengan pidana penjara selama tujuh tahun," kata jaksa di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 4 Juli 2025.
Tom dinilai jaksa memperkaya orang lain, sampai membuat negara merugi. Tom juga dituduh terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam kasus ini. Jaksa juga meminta hakim memberikan pidana denda Rp750 juta kepada Tom.
"Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan," ucap jaksa.
Tom Lembong Bantah Tuduhan Jaksa
Tom Lembong pun menyuarakan keberatannya atas tuntutan tersebut dan membantah semua tuduhan jaksa. Pengacara Tom Lembong menilai kasus ini sangat politis karena memilih berseberangan dengan penguasa pada Pemilihan Presiden 2024.
Tom Lembong mengaku heran dan juga kecewa karena isi tuntutan dinilainya mengabaikan fakta-fakta persidangan selama 4 bulan terakhir. Tom menyebut dari 20 kali persidangan, tidak satu pun fakta yang menguatkan pembelaannya tercantum dalam surat tuntutan. Ia menilai isi tuntutan hanya salinan langsung dari surat dakwaan, tanpa penyesuaian atas kesaksian dan data fakta yang telah terungkap di persidangan.
Selain itu, Tom dan kuasa hukumnya juga menyoroti inkonsistensi jaksa yang mengakui kliennya tidak menikmati hasil korupsi, tetapi tetap menuntut hukuman berat. Mereka berargumen jaksa gagal total dalam membuktikan unsur paling fundamental dari korupsi yaitu niat jahat (mens rea). Tanpa niat jahat, menurut pihak Tom, sebuah kebijakan yang keliru sekalipun seharusnya masuk dalam ranah hukum administrasi bukan ranah pidana.
Pleidoi Tom Lembong
Ketua tim penasihat hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menegaskan seluruh keputusan Lembong selama menjabat Menteri Perdagangan dilakukan berdasarkan hukum, arahan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), serta koordinasi lintas kementerian. Khususnya, terkait kebijakan impor gula untuk menjaga ketersediaan stok dan stabilitas harga.
Ari Yusuf Amir juga menegaskan kliennya tidak menerima aliran dana sepersen pun dalam perkara dugaan korupsi impor gula. Dia menyebut perkara ini sejak awal sarat rekayasa dan tidak berpijak pada pencarian kebenaran materiil.
Penasihat hukum Tom Lembong lainnya, Zaid Mushafi, menambahkan Presiden Jokowi yang menginstruksikan kliennya untuk menggandeng Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPPOL), serta Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL) dalam pendistribusian gula kristal putih (GKP). Termasuk, bekerja sama dengan produsen gula dalam negeri.
Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara dan Denda Rp750 Juta
Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun akhirnya menyatakan eks Menteri Perdagangan itu bersalah melakukan korupsi dalam importasi gula. Tom divonis penjara selama empat tahun dan enam bulan.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 18 Juli 2025.
Tom juga diberikan denda Rp750 juta. Uang itu wajib dibayarkan dalam waktu sebulan setelah vonis berkekuatan hukum tetap, atau pidana penjaranya ditambah.
Dalam kasus ini, Tom dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sesuai dakwaan primer. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Hukuman itu dinilai sesuai dengan perbuatan Tom. Pertimbangan memberatkan salah satunya yakni Tom harusnya mengedepankan ekonomi kapitalis ketimbang sistem ekonomi demokratis. Sementara itu, pertimbangan meringankan yakni dia belum pernah dihukum. Tom juga tidak menikmati uang korupsi dalam kasus ini.