Seperti Apa Praktik 'Ekonomi Kapitalis' Tom Lembong saat Jadi Mendag? Ini Penjelasannya

Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong. MI/Tri Subarkah

Seperti Apa Praktik 'Ekonomi Kapitalis' Tom Lembong saat Jadi Mendag? Ini Penjelasannya

Riza Aslam Khaeron • 19 July 2025 17:50

Jakarta: Vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dalam kasus korupsi, menjadi sorotan tajam dalam sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika menilai bahwa meski Lembong tidak menikmati uang hasil kejahatan, pendekatan kebijakannya selama menjabat menunjukkan keberpihakan pada sistem ekonomi kapitalis yang mengabaikan prinsip keadilan sosial.

"Terdakwa saat menjadi Menteri Perdagangan, pemegang kekuasaan pemerintahan di bidang perdagangan, kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis dibandingkan dengan sistem demokrasi ekonomi dan sistem ekonomi Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengedepankan kesetaraan umum dan keadilan sosial," ujar hakim anggota Alfis Setiawan dalam persidangan.

Lantas seperti apa praktik "ekonomi kapitalis" yang akhirnya memberatkan vonis Tom Lembong? Berikut ini ulasannya:

Pemberian Izin Impor Gula Tanpa Prosedur dan di Luar Aturan

Kasus bermula pada 12 Mei 2015, saat rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula. Dalam rapat tersebut, disepakati bahwa tidak ada kebutuhan untuk melakukan impor gula, karena pasokan nasional dinilai mencukupi. Namun, keputusan ini tak diindahkan oleh Tom Lembong.

Beberapa bulan setelah rapat tersebut, ia justru mengeluarkan izin impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT Andalan Prima (PT AP).

"Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP, yang kemudian gula kristal mentah tersebut diolah menjadi gula kristal putih," kata Harly Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.

Izin ini dikeluarkan tanpa rekomendasi teknis dari Kementerian Pertanian maupun lembaga lainnya yang berwenang melakukan perhitungan neraca kebutuhan gula. Tidak ada rapat koordinasi tambahan, dan tidak pula terdapat justifikasi kebijakan secara tertulis yang menyatakan terjadi perubahan signifikan dalam neraca gula nasional.

Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 serta Peraturan Menteri Perdagangan No. 117/M-DAG/PER/12/2015, impor gula kristal putih maupun gula kristal mentah untuk konsumsi hanya dapat dilakukan oleh BUMN, dan bukan untuk didistribusikan ke pasar secara umum tanpa pengawasan ketat.

Kemudian pada 28 Desember 2015, pemerintah menggelar rapat koordinasi bidang perekonomian yang memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan gula kristal putih sebesar 200.000 ton pada tahun 2016. Prediksi kekurangan ini menjadi salah satu alasan diberikannya ruang bagi pengadaan stok tambahan.

Namun, alih-alih mengimpor gula kristal putih sebagaimana mestinya, yang diimpor justru adalah gula kristal mentah.

Seharusnya, untuk memenuhi kekurangan tersebut, pemerintah mengimpor gula kristal putih langsung.

Namun dalam kenyataannya, yang diimpor adalah gula kristal mentah, yang kemudian diolah oleh delapan perusahaan swasta—PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI—untuk menjadi gula kristal putih. Ironisnya, perusahaan-perusahaan ini hanya memiliki izin untuk mengelola gula kristal rafinasi, bukan untuk memproduksi atau mendistribusikan gula konsumsi.

Dalam praktiknya, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebagai perusahaan BUMN yang secara aturan diperbolehkan mengimpor gula konsumsi, hanya berperan formal. PT PPI seolah-olah membeli gula dari perusahaan swasta tersebut, padahal tidak menjalankan peran aktif sebagai importir maupun distributor.
 
Baca Juga:
Anies Kecewa Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara


(Ilustrasi. Foto: Dok MI)  

Gula Dijual di Atas HET, Negara Rugi Ratusan Miliar

Delapan perusahaan swasta yang seharusnya hanya diizinkan mengelola gula kristal rafinasi justru memproduksi dan menjual gula kristal putih untuk konsumsi umum. Gula tersebut dijual ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram—jauh melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp13.000 per kilogram.

Tidak ada operasi pasar maupun mekanisme pengendalian harga. Keuntungan dinikmati oleh swasta, sementara negara kehilangan fungsi pengaturannya. PT PPI sendiri memperoleh fee sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan tersebut, tanpa benar-benar terlibat dalam manajemen dan pengawasan distribusi.

"Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogram," ucap Harly.

Jaksa Penuntut Umum mencatat bahwa akibat praktik ini, negara mengalami kerugian hingga Rp578 miliar.

Dari jumlah tersebut, sekitar Rp515 miliar dinilai telah memperkaya pihak-pihak swasta yang terlibat. Hakim menyatakan bahwa uang Rp194 miliar seharusnya menjadi keuntungan PT PPI, namun tidak pernah diterima. Karena itu, unsur merugikan keuangan negara dianggap telah terbukti secara sah dan meyakinkan dalam kasus ini.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)