23 October 2025 08:46
GUNUNG duit yang dipamerkan di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Senin (20/10), setidaknya punya dua pesan penting. Pertama, penyelesaian kasus korupsi memang harus berujung pada pengembalian kerugian negara. Kedua, gunung duit itu baru secuil dari uang negara yang raib.
Tengok saja pengumuman Kejagung pada Desember 2024 yang menyebutkan bahwa total kerugian negara dari kasus dugaan tindak pidana korupsi yang mereka tangani di tahun itu mencapai Rp310,6 triliun. Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa total potensi kerugian negara pada 2024 akibat korupsi sebesar Rp279,9 triliun. Lalu, bagaimana kinerja pengembaliannya selama ini?
Sebelum keberhasilan yang dipamerkan Kejagung pada Senin lalu tersebut, tingkat pengembalian memang menyedihkan. Pada 2024, Kejagung baru bisa memulihkan Rp1,3 triliun. Ini pun disebut berbentuk aset negara.
Kinerja lembaga penindak korupsi lainnya, KPK, tidak lebih bagus. KPK butuh waktu sekitar 5 tahun untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp2,5 triliun. Sementara itu, Polri yang juga berwenang mengusut kasus korupsi, belum tercatat melakukan publikasi jumlah pengembalian kerugian negara.
Jadi, kita sepakat bahwa yang dilakukan Kejagung adalah sebuah lompatan. Kejagung membuat rekor dan itu penting untuk diapresiasi.
Namun, lebih penting lagi menyoroti tentang kunci keberhasilan Kejagung dan memastikan itu berlanjut, termasuk di KPK dan Polri. Melihat pasal yang dituntutkan, Kejagung memang menggunakan dua ‘senjata’ utama untuk menjerat para koruptor dan jaringan mereka.
Pertama, pasal dalam undang-undang antikorupsi yang menetapkan bahwa selain hukuman penjara, pelaku dapat diwajibkan membayar uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Di situlah efek 'memiskinkan' koruptor bisa terjadi.
Kedua, pasal dalam UU antikorupsi yang mengatur bahwa semua orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan, akan diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama perbuatan tersebut.
Namun, sekuat apa pun ‘senjata’ itu tidak akan berguna jika tidak dibidikkan pada sasaran yang tepat. Pada kasus perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah ini, Kejagung mampu membuktikan efektivitas jeratan itu karena mereka tekun menjalankan cara follow the money. Hasilnya, korupsi yang dilakukan Wilmar Group, Musim Mas, dan Permata Hijau Group itu dapat diungkap seterang-terangnya.
Soal Rp4,4 triliun yang masih menjadi tunggakan Musim Mas dan Permata Hijau, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan pihaknya akan memastikan kedua perusahaan membayar tepat waktu. Kejagung juga telah mendapatkan kebun kedua perusahaan sebagai jaminan.
Kecermatan Kejagung di kasus CPO ini mutlak dilakukan juga pada semua kasus korupsi lainnya, khususnya kasus megakorupsi lainnya yang kasus mengeruk keuangan negara secara jumbo, seperti pada kasus impor minyak mentah dan kasus dugaan korupsi tata kelola komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk Tahun 2015-2022 yang melibatkan Harvey Moeis.
Sejauh ini, Kejagung pun menunjukkan keampuhan metode follow the money itu. Potensi kerugian negara di kasus timah pun makin terkuak, dari yang semula Rp271 triliun menjadi Rp300 triliun. Namun, kita ingatkan pula pada Kejagung bahwa angka bombastis juga harus terbukti di pengadilan.
Tidak hanya itu, Kejagung juga harus bisa menunjukkan dengan nyata bahwa para terdakwa benar-benar menikmati hasil korupsi, atau setidaknya memperkaya pihak lain. Itu merupakan unsur penting bagi terpenuhinya tindak pidana korupsi.
Tanpa itu, bukan saja kredibilitas Kejagung akan dipertanyakan, melainkan juga bisa merontokkan tuntutan dan membuat kasus itu semata divonis sebagai pelanggaran administratif belaka. Seperti kata Presiden Prabowo, masih puluhan triliun rupiah lagi kerugian negara harus dikembalikan. Namun, pastikan pula itu melalui penyidikan dan penuntutan yang tepat sasaran.