Bedah Editorial MI: Terbelenggu Pagar Laut

15 January 2025 09:26

DARI hari ke hari, kasus pagar laut di Tangerang hanya menguatkan dua kemungkinan. Pertama, adanya pemodal besar di balik aksi itu. Kedua, lagi-lagi, negara yang lemah.

Tidak perlu otak supercemerlang untuk mengerti bahwa hanya pemodal besar, bahkan raksasa, yang bisa memerintahkan pembangunan pagar tersebut. Dengan panjang pagar yang kini mencapai 30 kilometer lebih, biaya yang dikeluarkan jelas sangat besar. Hanya pemodal besar yang bisa melakukan itu.

Adanya ormas nelayan, yakni Jaringan Rakyat Pantura (JRP), yang mengaku sebagai pemasang pagar justru semakin menguatkan dugaan bahwa pemodal besar lah yang menjadi dalang. Dalih gotong-royong para nelayan sebagaimana dikemukakan jaringan itu  sangat sulit diterima akal. Hal ini mengingat biaya pembangunan pagar mencapai miliaran rupiah, sedangkan pendapatan nelayan sedang merosot. 

Alasan gotong-royong memagari laut untuk mencegah abrasi juga menggelikan. Sebab, bukan saja telah membuat nelayan sulit melaut, pagar itu nyatanya juga merusak ekosistem. 

Nelayan sejatinya sudah melaporkan berbagai keluhan tentang pagar laut itu ke pemda sejak September tahun lalu, tapi tidak ada respons konkret. Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) juga baru melakukan investigasi setelah masalah itu menjadi isu nasional dua minggu ini.

 

Baca: Legislator Klaim Pagar Laut di Bekasi Berbeda dengan di Tangerang


Maka, kini yang menjadi pertanyaan adalah mengapa KKP tidak juga mengungkapkan dalang meski menyebut sudah mengantongi nama pemagar? Padahal, bukan saja mengungkapkan otak kasus ini, KKP semestinya segera melakukan langkah hukum mengingat sedikitnya ada empat peraturan yang dilanggar dengan keberadaan pagar laut itu. 

Pertama, pemagaran tanpa izin itu melanggar UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kedua, jelas pula pagar itu melanggar UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyebutkan bahwa pemanfaatan wilayah perairan harus berdasarkan kepentingan nasional, termasuk kepentingan lingkungan dan ekonomi masyarakat sekitar.

Pun, pembangunan pagar tersebut tidak memiliki Amdal. Maka pagar itu juga melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mensyaratkan bahwa setiap kegiatan yang berdampak penting pada lingkungan wajib memiliki Amdal. 

Lalu, dengan banyaknya keluhan nelayan lokal, maka pagar itu melanggar pula Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mewajibkan semua pihak yang melakukan pemanfaatan ruang laut untuk mengutamakan kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian lingkungan.

Banyaknya pelanggaran dari kasus pagar laut ini mestinya membuka mata bahwa jangan-jangan tujuan akhir dari pembangunan pagar laut tersebut ialah pencaplokan wilayah pesisir dengan mematikan terlebih dulu kehidupan nelayan lokal. 

Karena itu, lambannya penanganan kasus pagar laut ini justru menguatkan kecurigaan publik tentang adanya keterlibatan para pejabat dalam kasus ini. Bantahan hanya bisa ditunjukkan jika KKP segera mengungkap dan menindak tegas pelaku dan aktor yang memerintahkan pemagaran. Penindakan sama sekali tidak cukup dengan ultimatum membongkar sendiri pagar itu dalam waktu 20 hari. 

Kita sepakat kerusakan ekosistem dan terganggunya penghidupan nelayan harus segera dihentikan. Pagar harus dibongkar segera. Pada saat bersamaan proses hukum atas kasus ini juga mesti dimaksimalkan. Ini sekaligus untuk membalikkan cibiran publik bahwa negara sedang dibelenggu pagar laut.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Gervin Nathaniel Purba)