20 August 2025 08:52
Sudah tiga kali rezim di Republik ini berganti, tetapi pengelolaan ibadah haji tidak pernah luput dari prahara korupsi. Ritual suci untuk memenuhi panggilan Sang Khalik itu masih saja digerogoti hawa nafsu orang-orang dan pejabat bermental pemburu rente.
Dari pengalaman terdahulu, praktik lancung tersebut selalu menjerat orang nomor satu di Kementerian Agama. Menteri agama periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar, terbukti bersalah dalam korupsi dana abadi utama dan dana penyelenggaraan ibadah haji.
Said Agil divonis menerima uang sebesar Rp4,5 miliar. Namun, dana itu bukan hanya untuk penyelenggaraan ibadah haji, melainkan juga untuk keperluan lain seperti membiayai perjalanan anggota DPR.
Setelah Said Agil, giliran menteri agama periode 2009-2014 Suryadharma Ali yang tersangkut kasus korupsi penyelenggaraan haji. Suryadharma yang menjadi menteri di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji 2010-2013.
Suryadharma dinyatakan bersalah oleh pengadilan dalam hal pengangkatan petugas panitia penyelenggara haji dan memanfaatkan sisa kuota haji untuk segelintir orang agar bisa naik haji gratis. Tidak hanya itu, Suryadharma dinyatakan bersalah karena menyalahgunakan dana operasional menteri (DOM) yang bersumber dari APBN sebesar Rp1,8 miliar untuk kepentingan pribadinya. Dalam persidangan terungkap bahwa DOM diselewengkan untuk berobat anaknya dan keperluan wisata.
Sungguh, kenyataan itu meletakkan Kementerian Agama yang seharusnya menjadi suluh bagi umat malah dinodai dengan praktik yang mencederai nilai-nilai ketuhanan. Kini, Kementerian Agama kembali menjadi sorotan setelah lembaga antirasuah mengusut dugaan korupsi kuota haji.
Baca: Kasus Korupsi Kuota Haji, KPK Dalami Kemungkinan Pembagian Jatah ke DPR |
Sejauh ini belum ada tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Namun, menteri agama periode 2020-2024 Yaqut Cholil Qoumas dan dua orang lainnya sudah dicegah bepergian ke luar negeri.
Yaqut, menteri di era pemerintahan Joko Widodo, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No 130/2024 yang mengatur kuota haji tambahan 1445 Hijriah. SK tersebut telah dijadikan oleh KPK sebagai salah satu bukti kasus dugaan korupsi terkait dengan kuota haji.
Berdasarkan SK Menag Nomor 130 Tahun 2024, kuota haji tambahan sejumlah 20 ribu orang dibagi menjadi 10 ribu kuota haji reguler dan 10 ribu kuota haji khusus. Pansus Angket Haji DPR sebelumnya juga menyoroti persoalan yang tengah ditangani KPK.
Pembagian tersebut dianggap tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8%, sedangkan 92% untuk kuota haji reguler.
Publik tentu sangat mengapresiasi pengungkapan kasus dugaan korupsi pengelolaan ibadah haji di era Presiden Joko Widodo. Selain karena telah menodai urusan yang paling personal antara umat dan Tuhan, negara ditaksir merugi hingga Rp1 triliun akibat kasus itu.
Jumlah kerugian tersebut amatlah besar, bukan hanya materiel, melainkan juga moral. Karena itu, bisa dimaklumi bahwa publik berharap KPK bergerak cepat untuk segera menjerat para tersangka. Lembaga antirasuah harus bisa membawa mereka yang bersalah tanpa pandang bulu ke meja hijau.
Penegakan hukum yang cepat akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan ibadah sekaligus demi menyelamatkan uang negara. Kecepatan dalam mengungkap perkara itu sekaligus menepis anggapan adanya tarik-menarik kepentingan.
Buktikan bahwa hukum masih berdiri di atas kebenaran dan tidak tunduk pada kekuatan kotor yang jelas-jelas menodai kekhusyukan beribadah. Kalau dahulu KPK bisa tampil gagah menjerat koruptor, kini publik kembali menanti keberanian serupa.