Bedah Editorial MI: Kisah Pilu Sistem Pemilu

22 February 2024 09:12

Ada yang kecewa karena kalah dalam pemilu, itu hal yang lumrah. Tapi ada yang meninggal karena pemilu, itu sungguh tragis. Apalagi yang meninggal ialah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), salah satu komponen pejuang demokrasi.

Kisah kematian pada Pemilu 2024 bak pengulangan kisah tragis Pemilu 2019. Lima tahun lalu, saat pemilu serentak pertama kali digelar, data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut 894 petugas KPPS meregang nyawa. Di pemilu kali ini, berdasarkan data terkini Kementerian Kesehatan per 19 Februari 2024, sudah lebih dari 90 petugas KPPS meninggal.

Fakta itu masih belum ditambah dengan jumlah petugas KPPS yang jatuh sakit usai hari pencoblosan. Pada Pemilu 2019, ada 5.175 petugas yang sakit dan Pemilu 2024 ada 4.567 petugas.

Deretan angka itu sungguh memilukan. Baik yang sakit maupun meninggal, penyebabnya semuanya sama, mereka kelelahan akibat pekerjaan seabrek banyaknya dan waktu kerja yang sangat panjang, nyaris dua hari berturut-turut tanpa henti.

Risiko sakit bahkan berujung kematian itu tak sebanding dengan honor Rp1,1 juta hingga Rp1,2 juta yang diterima petugas KPPS.

Dengan fakta itu, pemilu sebagai ajang pencarian pemimpin bangsa telah berubah menjadi ladang pembantaian. Teramat mahal ongkos yang mesti dibayar untuk kontestasi lima tahunan.

Meski secara jumlah menurun, fakta itu jelas menunjukkan tak ada perbaikan berarti yang dilakukan KPU. Pesta demokrasi masih dibuat rumit dan melelahkan.

Padahal pemilu kali ini memakan anggaran terbesar dalam sejarah pemilu Indonesia. Untuk 2024, negara menganggarkan Rp71,3 triliun untuk pelaksanaan pemilu. Bandingkan dengan 2019 yang menelan Rp25,29 triliun yang juga sama-sama dilaksanakan serentak. Terpaut Rp46 triliun dari dua pemilu itu.

Pertanyaannya, apa masih kurang tambahan Rp46 triliun bagi KPU untuk membuat pemilu yang sederhana? KPU butuh berapa supaya petugas KPPS tak perlu begadang untuk menghitung suara?

KPU sepertinya tak belajar maksimal dari pengalaman pemilu sebelumnya. 

KPU yang beranggotakan orang-orang yang selama ini aktif di kegiatan kepemiluan mestinya sudah paham dengan kendala teknis yang bakal dihadapi petugas KPPS di lapangan. Mulai dari kurangnya surat suara, hasil penghitungan suara yang tidak sesuai dengan jumlah surat, hingga metode baru bernama Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang nyatanya kerap tidak bisa diakses. 

Itu masih belum ditambah dengan kewajiban petugas KPPS membagikan undangan dan menyiapkan TPS. 

Jelas pemilu butuh evaluasi total. Bukan cuma KPU yang mesti dimintai pertanggung jawabannya, sistem pemilu pun mesti dikoreksi total.

Keserentakan pemilu yang salah satunya bertujuan untuk menekan biaya malah yang terjadi sebaliknya, justru harus dibayar mahal dengan nyawa. Sudah dua kali pemilu serentak digelar, dua kali pula pemilu jadi ladang pembantaian.

Rasanya tak perlu menunggu pemilu berikutnya untuk membuktikan sistem yang dijalankan selama ini membutuhkan nyawa sebagai penggantinya. Cukup keledai yang jadi perumpamaan karena jatuh di lubang yang sama dua kali akibat bodoh namun keras kepala.

UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum harus segera direvisi untuk mendesain ulang model pemilu kita. Memilih secara serentak presiden dan wakil presiden, serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota terbukti berbiaya jauh lebih mahal.

Anggota DPR hasil Pemilu 2024 saatnya memikirkan opsi-opsi pelaksanaan pemilu berikutnya. Salah satu opsinya yakni dengan memisahkan pemilu legislatif daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan pemilu nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota DPR dan DPD.

Atau opsi lainnya, pemilu tetap digelar bersamaan namun dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang sudah serbacanggih saat ini.

Sekali lagi, cukup keledai yang dua kali jatuh, sementara kita bukan bangsa keledai. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Sofia Zakiah)