Jakarta: Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 32.064 tenaga kerja menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) selama periode Januari hingga Juni 2024. Mayoritas terjadi di Jakarta dengan mencapai 7.000 lebih tenaga kerja, atau 23,29 persen.
PHK juga terjadi di wilayah lain, yakni Banten dengan 6.135 orang, Jawa Barat (Jabar) sebanyak 5.155 orang, dan Jawa Tengah (Jateng) sebanyak 4.275 orang. Sementara di luar pulau Jawa tercatat 1.812 orang di Sulawesi Tengah (Sulteng).
Selain kasus PHK, 94 kasus mogok kerja juga tercatat hingga Juni 2024. Melibatkan 3.355 orang tenaga kerja dan 26.840 jam kerja hilang imbas aksi tersebut.
Jakarta juga memimpin sebagai wilayah paling banyak melakukan aksi mogok kerja. Menyentuh 35 kasus dengan 850 orang tenaga kerja yang terlibat dan 6.800 jam kerja hilang. Disusul Jabar dengan 22 kasus dan Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan 10 kasus mogok kerja.
Menurut Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, meningkatnya gelombang PHK menandakan Indonesia dalam kondisi tidak aman. Meningkatnya jumlah PHK menandakan lemahnya ekonomi domestik karena PHK merupakan indikator pendorong pelemahan ekonomi.
Jika melihat daerah terjadinya PHK dapat dipastikan mayoritas adalah pekerja sektor manufaktur. Hal itu menandakan tren deindustrialisasi dini terus berlanjut.
Pemerintah harus segera memberikan perhatian. Jika tidak ada dan insentif yang serius dari pemerintah, deindustrialisasi akan semakin masif. Bisa berdampak pada penerimaan pajak yang melemah dan ketergantungan akan produk impor semakin tinggi.