17 April 2025 08:23
Pemerintah disebut akan mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Banyak pihak yang bergembira serta mendukung rencana yang dilontarkan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas itu. Meskipun, ada juga yang waswas ketakutan bila regulasi itu benar-benar hadir di Tanah Air.
Jika publik bersorak atas hadirnya UU itu kelak, para koruptor yang mengumpulkan sepiring nasi dan segenggam berlian dari mencoleng uang negara bakal habis-habisan menolak. Berbagai siasat akan dipasang agar UU yang diyakini bakal membuat kecut koruptor itu kandas, atau kabur tak jelas kapan diwujudkan.
Berbagai analisis menyebutkan bahwa yang ditakuti koruptor bukan kematian, melainkan kemiskinan. Bagi pencoleng uang negara itu, kematian tetap bisa dinegosiasikan dengan uang. Vonis hukuman mati bahkan bisa berbalik 180 derajat menjadi bebas, asal para aparat hukum bisa diajak kompromi.
Tapi, bila aset dirampas bahkan sampai ke ahli waris, itu bermakna kematian sejati koruptor. Jika ia miskin karena hartanya diputuskan dirampas oleh negara akibat perilaku jahatnya yang membuat masyarakat sengsara, sulit baginya untuk mengulang kejayaan dengan menumpuk harta.
Kegeraman terhadap koruptor sebenarnya sudah berulang kali diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Oleh karena itu, Prabowo juga sudah beberapa kali mengaku mendorong koruptor harus mengembalikan terlebih dahulu kerugian negara yang mereka timbulkan. Tetapi, Presiden juga menyadari fakta berbicara berbeda.
Tidak ada koruptor yang dengan kesadaran diri sendiri mengaku salah dan mau mengembalikan kerugian negara. Koruptor lebih memilih berhadapan dengan hakim di meja persidangan. Apalagi, sudah berulang kali terungkap bahwa hakim bisa diajak bermain mata dengan para terdakwa demi fulus dari bawah meja.
Para pencoleng meyakini perumpamaan satir, semua urusan memakai uang tunai. Ketimbang seluruh uang disita negara, mereka lebih memilih untuk berbagi uang dengan aparatur negara yang sama-sama bermental pemburu rente. Bagaimana bisa mengharapkan ada efek jera, kalau para penjahat kerah putih itu masih merasa di atas angin.
Itu sebabnya publik mendukung ada pengaturan tentang perampasan aset bagi pengerat uang negara. Hanya, dalam Rapat Paripurna DPR pada 19 November 2024, para wakil rakyat hanya memasukkan RUU itu ke dalam prolegnas jangka menengah 2025-2029 bukan sebagai Prolegnas Prioritas 2025.
Mereka berdalih pengesahan RUU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa dan harus dilakukan kajian terlebih dahulu terkait dengan kecocokan atas sistem hukum di Indonesia. Alasan bisa saja diciptakan sesuka hati mengacu keinginan dan kepentingan. Toh, DPR sebenarnya bisa juga membahas sejumlah UU secara kilat dan sistematis.
Sebut saja, revisi UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) dan revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dua UU yang tidak masuk prolegnas prioritas bisa tuntas hingga disahkan dalam hitungan hari.
Sayangnya, semangat menggebu-gebu untuk menggelar rapat dan lembur yang sama tidak muncul di pembahasan RUU perampasan aset. Maka, Menteri Supratman Andi Agtas mengakui pembahasan RUU itu tinggal menyangkut soal politik yang membutuhkan komunikasi sungguh-sungguh dengan partai politik atau parpol.
Publik tentu menghendaki ada ketegasan pemerintah dalam menerapkan pemerintahan bersih, bukan sekadar basa-basi. Masyarakat tentu mendukung 1.000% bila pemerintah jadi mendorong RUU Perampasan Aset untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Kalaupun banyak parpol menolak, yakinlah publik ada di belakang pemerintah dalam soal ini, karena publik sudah lama merasa negeri ini tengah diselimuti darurat korupsi. Situasi darurat jelas membutuhkan langkah darurat. Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai prolegnas prioritas di 2025 ialah wujud respons yang juga sangat cepat atas kondisi darurat itu.