NEWSTICKER

Editorial Malam: Muslihat Ganjar di Seruan Azan

N/A • 11 September 2023 22:13

Memanfaatkan kekosongan hukum, mengekploitasi celah aturan untuk bisa mencuri start kampanye jelas-jelas sebuah bentuk penerabasan prinsip berkeadilan dalam kontestasi demokrasi. Para kandidat semestinya menjunjung tinggi fatsun politik.

Kemunculan capres yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ganjar Pranowo dalam video azan maghrib yang disiarkan televisi publik memicu polemik di ruang publik. Tidak hanya soal etika, tetapi juga persoalan eksploitasi politik identitas.

Di video itu Ganjar yang menjadi model, tengah berwudhu kemudian salat berjemaah di sebuah masjid dengan mengenakan baju koko putih, peci hitam dan sarung. 

Mulanya video azan itu dibuka dengan pemandangan alam Indonesia. Ganjar lalu muncul menyambut jemaah yang akan salat. Di situ Ganjar mengenakan baju koko putih, peci hitam dan sarung batik.

Dia lantas menyalami dan mempersilakan jemaah yang datang untuk masuk ke masjid. Rangkaian video berikutnya Ganjar terlihat melakukan wudu dan setelahnya duduk di saf depan sebagai makmum.

Bentuk tayangan yang tidak patut semacam ini semestinya tidak ditayangkan. Apalagi siaran TV tersebut menggunakan frekuensi publik yang tidak boleh dipakai untuk di luar kepentingan publik.

Aksi Ganjar mendompleng tayangan azan tersebut jelas merupakan bentuk kampanye. Padahal semestinya tayangan azan semacam itu harus bebas dari kepentingan segelintir, termasuk dari unsur politik.

Jangan hanya karena pemilik stasiun TV merupakan ketua umum parpol pendukung Ganjar, malah seenaknya menyajikan tayangan yang tidak mengedepankan etika dan fatsun politik. 

Namun, kekosongan hukum menjadi hambatan bagi badan pengawas pemilu untuk menindak Ganjar. Pasalnya, Ganjar kini belum ditetapkan sebagai calon presiden, belum menjadi peserta pemilu. Ganjar baru menjadi kandidat yang bakal diusung dan belum terikat aturan pemilu.

Penindakan tersebut sulit dilakukan lantaran regulasi pemilu antara sosialisasi dan kampanye dinilai lemah. Dalam Pasal 79 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 15 tahun 2023 tentang kampanye pemilihan umum menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal partai politik sebelum masa kampanye.

Aturan kampanye yang absurd tersebut, sehingga sulit membedakan antara sosialisasi dan kampanye. Dalam aturan sosialisasi, hanya untuk partai politik peserta pemilu sementara untuk para kontestan bacapres bacawapres, tidak diatur.

Hal inilah yang membuat atmosfir pertarungan bakal capres/cawapres di masa sosialiasi ibarat tarung bebas dan terjadi adanya ketidaksetaraan antar satu kandidat dengan kandidat lain. 

Untuk itulah, publik tentu berharap, persoalan ketidaksetaraan dalam kontestasi demokrasi harus diakhiri. Jika memang Bawaslu tidak punya taring untuk menindak Ganjar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mestinya mengambil langkah tegas untuk stasiun TV milik Ketua Umum Perindo tersebut.

Apalagi jelas dalam UU 7/2017 tentang Pemilu pada Pasal 296 disebutkan bahwa KPI atau Dewan pers melakukan pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media massa cetak.

Tanpa penindakan yang progresif, dan tanpa efek jera niscasya bakal diikuti oleh kandidat lain. Bahkan tidak hanya capres/cawapres, mungkin juga para calon legislatif. Penyelenggara pemilu pun harus menjadikan aksi Ganjar ini bahan evaluasi untuk menyempurnakan aturan.

Dan tentu, bagi para kandidat lain agar dapat melakukan pengeloaan citra diri secara etis, bermoral, dan beradab, termasuk di media dengan tidak menampilkan sosialisasi politik primitif. Jangan mengakali ketiadaan aturan demi sekadar elektabilitas.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Leah Alexis Laloan)