Perjamuan makan siang Presiden Joko Widodo dengan ketiga calon presiden, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, dan arahannya kepada Aparatur Sipil Negara dan penjabat kepala daerah agar bersikap netral dalam Pemilu 2024 tampaknya sia-sia ketika Presiden Jokowi tak bisa melepaskan diri dengan relawannya yang mengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Presiden Jokowi menemui relawan pendukungnya yang tergabung dalam Arus Bawah Jokowi di sela-sela kunjungan kerja di Bali, Selasa (31/10/2023). Dalam pertemuan ini, pihak Arus Bawah Jokowi juga mengutarakan bahwa mereka mendukung Prabowo-Gibran pada Pemilihan Presiden 2024. Alasannya, kata relawan Arus Bawah Jokowi, Gibran akan membuka pintu bagi anak-anak muda untuk berkiprah di dunia politik.
Tak hanya itu, kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Bali juga diwarnai pencopotan baliho pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD oleh aparatur setempat. Bantahan, sanggahan serta imbauan berbusa-busa Jokowi kepada pejabat negara agar netral jelas tidak tergambar di lapangan. Justru fakta-fakta sebaliknya yang makin mengental.
Misalkan, Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni yang membuat postingan terkait kunjungan dinasnya ke Kupang, Nusa Tenggara Timur di akun X beberapa waktu lalu. Pada postingan itu, ia mengabarkan tujuan ke Kupang untuk membagikan sertifikat PTSL dan wakaf dengan disertai hastag Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Belum lagi aksi Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasmigrasi (Wamendes PDTT) Paiman Raharjo yang memimpin sebuah rapat untuk memenangkan Gibran. Ajakan ini dinilai tidak etis, mengingat jabatannya sebagai bagian dari pemerintah.
Sehingga patut dipertanyakan tujuan ancaman Jokowi yang akan memberikan sanksi bagi pejabat yang tidak netral. Jika serius untuk menghukum pejabat 'miring-miring' itu, copot dulu para pembantu presiden yang terang-terangan mengampanyekan Prabowo-Gibran.
Tidak perlu lagi Jokowi berpidato panjang lebar soal netralitasnya. Upaya menyelamatkan demokrasi lebih butuh aksi, bukan sekadar narasi. Jokowi tidak perlu lagi merawat relawan pendukungnya yang jelas-jelas menjadi kelompok terdepan mengusung Prabowo-Gibran.
Presiden harus menyadari bahwa akar masalah yang akan merusak demokrasi adalah politik dinasti yang mengangkangi konstitusi sehingga Mahkamah Konstitusi pun diduga diperalat untuk memuluskan sang anak, Gibran Rakabuming Raka, menuju kontestasi Pilpres 2024.
Nama Wali Kota Solo di pentas pilpres 2024 itu jelas menjadi pertaruhan netralitas kepala negara. Presiden yang mestinya tegak lurus untuk berada di atas semua kandidat capres/cawapres justru terbebani dengan kandidasi anaknya. Politik dinasti dan nepotisme adalah sami mawon. Keduanya kanker bagi sebuah negara demokrasi.