Seorang anak dari pasangan suami istri tunanetra terancam tidak bisa mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri lewat jalur afirmasi. Mirisnya, pihak yang dinilai paling bertanggung jawab hanya bisa menyalahkan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ketimbang mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
Lagi dan lagi, PPDB 2024 menuai berbagai masalah. Seorang anak dari keluarga miskin gagal diterima di SMA Negeri Kota Semarang.
Vita Azahra adalah anak dari pasangan Warsito dan Uminiya, penyandang disabilitas netra dan berprofesi sebagai tikang pijat. Ceritanya beawal saat Uminiya mendaftarkan anaknya ke SMA melalui jalur afirmasi yang diperuntukkan bagi anak dari keluarga tidak mampu.
Diketahui dalam sistem PPDB, hanya ada tiga kategori, yakni P1 (miskin ekstrem), P2 (sangat miskin), dan P3 (miskin) yang dinilai akan lolos dalam jalur afirmasi.
Sementara berdasarkan pendataan, keluarga Warsito dan Uminiya masuk dalam kategori P4 (rentan miskin). Sehingga, Vita tidak lolos dalam pendaftaran sekolah jalur afirmasi. Padahal, keluarga ini hanya tinggal di sebuah kontrakan di pemukiman padat penduduk.
"Saya kecewa, kenapa saya tidak bisa masuk afirmasi. Sedangkan orang yang lebih mampu dari saya bisa masuk afirmasi," ujar Uminiya.
Uminiya juga sempat mendaftarkan anaknya melalui jalur zonasi PPDB di Kota Semarang. Namun, wilayahnya tidak masuk dalam sistem zonasi SMA Negeri 9 dan SMA Negeri 15. Padahal, jarak dua sekolah itu dan rumah kontrakan yang ia tinggali tidak jauh.
Sementara dua usaha itu ditolak, Vita mencari solusi dengan mendatangi sekolah impiannya yakni SMA Negeri 9 dan SMA Negeri 15 Semarang. Namun, petugas di lokasi hanya memberikan jawaban bahwa keluarganya tidak terdaftar dalam sistem PPDB.
Perjuangannya tidak sampai di situ saja, Vita juga mendatangi Kantor Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah. Namun, pihak dinas itu hanya memberikan jawaban adanya kesalahan sistem.
Kini, Uminiya dan Warsito berharap pemerintah mengatasi masalah yang dihadapi anak semata wayangnya dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Mereka juga berharap data DTKS bisa diperbaiki dan disesuaikan dengan kondisi fakta yang ada di lapangan.