Bedah Editorial MI: Berhemat Mesti Tepat

27 January 2025 13:01

Presiden Prabowo Subianto terbukti tidak hanya berwacana atau bernarasi. Setelah berulang kali menyerukan memotong pemborosan anggaran, Presiden kedelapan Republik Indonesia itu telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Dari kebijakan itu, penghematan belanja negara diperkirakan sebesar Rp306,695 triliun. 

Angka itu terdiri dari penghematan APBN 2025 sebesar Rp256,10 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,595 triliun. Prabowo tentunya sadar, kebijakan tersebut tidak memuaskan bagi semua pihak. Bahkan mungkin saja ada yang jengkel. Betapa tidak, inti instruksi tersebut adalah memotong belanja negara. Terkhusus, belanja nonprioritas yang menjadi kebiasaan kalangan birokrat dalam menghabiskan anggaran hanya demi dinyatakan serapan anggaran baik. 

Jadi, kegiatan seperti seremonial, studi banding, dan perjalanan dinas bakal dikurangi hingga separuh. Belanja honorarium juga diminta dilakukan secara terukur. Bagi sebagian birokrat, perjalanan dinas adalah salah satu sumber pendapatan tambahan resmi dan legal mereka.
 

Baca: Serius Kelola Anggaran, Presiden Akan Kawal Anggaran Hingga Satuan Terkecil

Tapi, publik harus menyadari banyaknya kasus korupsi dengan modus perjalanan dinas fiktif membuat perjalanan dinas kerap dikritik. Prabowo memang mengincar perilaku sebagian aparat negara yang terbiasa membuat keuangan negara bocor. Kebiasaan itu juga pernah diungkapkan mendiang begawan ekonom yang juga ayahanda Presiden Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo. Pada akhir 1993, Sumitro pernah menghitung kebocoran dana pembangunan negeri ini yang mencapai 30%. 

Sayangnya, praktik di masa Orde Baru itu masih juga berlaku di era reformasi. Seperti saat pemerintahan sebelumnya, ketika anggaran untuk program revolusi mental malah dipakai untuk membeli sepeda motor trail. Yang paling tidak masuk akal, ada pula anggaran Rp10 miliar untuk program stunting di daerah, sebanyak Rp6 miliar di antaranya dipakai untuk studi banding, untuk rapat evaluasi Rp2 miliar, dan yang jadi makanan untuk ibu hamil dan anak di bawah dua tahun hanya Rp2 miliar. 

Lalu, ada juga yang menggunakan anggaran stunting untuk memperbaiki pagar puskesmas. Entah apa isi di dalam kepala para pengguna anggaran itu selain sibuk mencari cara mendapatkan bagian dari uang negara. 
Presiden juga sudah tahu dan memahami akal bulus para pengelola anggaran itu. 
 
Baca: Efisiensi APBD, Pj Gubernur Jakarta Berencana Potong Anggaran Perjalanan Dinas dan Rapat

Dan, publik menaruh harapan Prabowo teguh menghadapi, melawan, dan menyikat para pelaku pemboros keuangan negara. Jangan ragu menciptakan pemerintahan yang efisien. 

Tapi, kita ingatkan juga kepada pemerintah untuk hati-hati dalam memberlakukan pengetatan anggaran ini. Jangan sampai niat baik menghemat anggaran tapi justru membuat laju pertumbuhan ekonomi terhambat.

Bagaimana pun, anggaran negara ialah salah satu instrumen penting pendongkrak ekonomi. Bagi daerah, dana transfer ke daerah bahkan sudah serupa jantung yang menghidupi. Bila jantung itu terus ditekan, maka sirkulasi darah tidak lancar.

Maka, jangan sampai niat baik menghemat anggaran justru kontrapriduktif karena ketidakcermatan dalam menentukan skala prioritas. Berhemat itu penting, tapi geliat ekonomi juga tidak kalah penting. Maka, lakukan semua dengan cermat, tepat, dan akurat agar tidak justru membuat berat rakyat. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Diva Rabiah)