Candaan semestinya menghibur dan mencairkan suasana. Tidak bisa disebut sedang bercanda kalau pada akhirnya malah memperkeruh dan menegangkan situasi. Kalau pun masih bisa disebut sebagai candaan, itu adalah candaan dangkal, guyonan yang tak pantas. Terlebih bila itu diucapkan oleh seorang pejabat publik, pejabat negara sekelas menteri.
Adalah Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang, lagi-lagi, membuat geger publik dengan pernyataan kontroversialnya. Pada sebuah acara internal Kementerian Agama di Surabaya, Rabu (13/9), ia melontarkan selorohan yang menyerempet pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden Amin. Amin ialah akronim pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang diusung Partai NasDem, PKB, dan hampir pasti PKS.
Saat itu, Menag melempar guyonan kepada Kepala Balitbang Diklat Kemenag Prof Amin Suyitno, sekaligus menyinggung pasangan Amin yang memang sedang ramai diberitakan. Yaqut menyatakan dirinya tidak akan memilih Amin. Dia bahkan mengatakan, orang yang memilih Amin berarti bidah.
Kita tidak tahu Amin yang dimaksud Yaqut dalam pernyataan itu apakah merujuk pada Amin Suyitno, koleganya di Kemenag, atau Amin yang merupakan akronim pasangan capres-cawapres. Di situlah justru letak tidak lucunya candaan Menag. Patut diduga ia 'memanfaatkan' keberadaan Amin Suyitno sebagai sasaran guyonan sekaligus sindiran, padahal sebetulnya tujuannya ialah menyentil pasangan Amin.
Dugaan seperti itu tidak berlebihan jika kita merujuk pada pernyataan Menag sebelumnya yang juga sarat dengan tendensi politik. Dalam keterangan resmi Kemenag, Minggu (3/9) dia mengajak masyarakat tak memilih sosok pemimpin yang menggunakan agama untuk kepentingan politik di Pilpres 2024. Yaqut juga meminta publik lebih jeli dalam menentukan pilihan, terlebih sosok yang pernah memecah belah umat.
Sangat mudah dibaca bahwa dalam pernyataan itu ada muatan tendensi politik yang kuat untuk menyerang dan menyudutkan bacapres tertentu yang selama ini memang selalu distigmakan seperti itu. Stigma yang terus dirawat dan diglorifikasi oleh lawan politiknya, kendati kebenaran dari rumor itu tak pernah diuji dan dibuktikan dengan jelas.
Kini, tak sampai setengah sebulan setelah pernyataan itu, Yaqut seperti ingin kembali menyudutkan bacapres yang sama, plus bacawapresnya, lewat cara yang berbeda. Kali ini ia 'membungkusnya' dengan sebuah guyonan yang boleh dibilang sudah kelewat batas. Mengapa kelewat batas, sebab ia sudah membawa-bawa istilah bidah untuk dicampurkan dalam urusan politik praktis.
Bidah artinya perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya, kemudian dilakukan seolah-olah menjadi ajaran Islam. Lalu apa urusannya memilih Amin (siapapun yang dimaksud) dikatakan sebagai bidah?
Menag, sekali lagi, telah melakukan kesalahan fatal dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara dan pelayan publik. Alih-alih bekerja menjalankan tanggung jawabnya, ia sepertinya malah terlampau jauh mengurusi Pilpres 2024 yang seharusnya bukan menjadi urusannya. Ketidakmampuan ia menahan diri dan nafsu berpolitiknya justru berpotensi membuat keruh suasana perpolitikan menjelang Pemilu 2024.