NEWSTICKER

Bedah Editorial MI: Aroma Cawe-Cawe di Balik Percepatan Pilkada

N/A • 6 September 2023 19:20

Wacana percepatan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) dari November ke September kembali bergulir. Kali ini, pemerintah disebut sudah siap menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Untuk mengubah bulan pelaksanaan pemungutan suara pilkada memang diperlukan revisi undang-undang. Hal itu karena Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengamanatkan pilkada mendatang terlaksana pada November 2024.

Perppu menjadi pilihan untuk merevisi, sebab pembahasan revisi Undang-Undang melalui proses legislasi di DPR dipandang akan memakan waktu lama. Padahal, tahapan pilkada akan segera dimulai.

Keterbatasan waktu tersebut menjadi alasan hal ihwal kegentingan memaksa sebagai syarat penerbitan perppu. Bisa dibilang ini kegentingan memaksa yang dipaksakan.

Kenapa begitu? Karena sesungguhnya, penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah memiliki waktu yang banyak untuk merencanakan waktu pelaksanaan pilkada.

Kita masih ingat betapa alotnya pembahasan penentuan tanggal pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak oleh penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah, dua tahun yang lalu. Berbagai usulan telah dilontarkan dan pada akhirnya disepakati pemilu presiden, legislatif, dan DPD berlangsung 14 Februari dan pilkada pada 27 November 2024. Keputusan itu tidak ujug-ujug. Banyak pertimbangan yang sudah diperhitungkan, termasuk tentang irisan tahapan pemilu dengan pilkada.

Setelah pemungutan suara pemilu, perlu jeda yang memadai untuk mengantisipasi sengketa hasil pemilu, khususnya pada pemilihan anggota DPRD. Itu karena untuk bisa mengusung calon kepala daerah, ada syarat minimal jumlah perolehan kursi DPRD atau akumulasi perolehan suara sah dari setiap partai atau gabungan partai yang harus dipenuhi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) ketika itu mengatakan partai perlu melakukan konsolidasi sebelum mencalonkan kepala daerah dan itu bisa berlangsung sampai Agustus 2024. Pada saat yang sama, penyelenggara juga mungkin masih berkutat menangani sengketa hasil pemilihan presiden, DPR RI, dan DPD RI.

Berbagai argumen dan pertimbangan sudah dilontarkan dalam pembahasan antara penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah. Termasuk, pertimbangan bahwa pemerintahan Presiden ke-8 RI baru terbentuk setelah dilantik pada Oktober 2024.

Semuanya sudah diperhitungkan secara matang dengan mengusung semangat menjalankan amanat undang-undang. Tujuannya agar pemilu dan pilkada berlangsung dengan lancar, jujur dan adil.

Penerbitan Perppu Pilkada untuk memajukan jadwal hajatan demokrasi itu ke September sama saja menihilkan perhitungan matang itu. Kini, kekhawatiran penyelenggaraan pemilu akan kewalahan menangani tahapan pemilu sekaligus pilkada datang kembali. Suatu potensi masalah yang sebetulnya sudah terantisipasi.

Belum lagi konsekuensi penganggaran yang ditimbulkan. Selanjutnya, muncul pertanyaan mengapa sekarang tiba-tiba ingin memajukan jadwal Pilkada ke sebelum Presiden ke-8 yang menggantikan Presiden Joko Widodo dilantik pada Oktober?

Justru yang muncul kesan grasah-grusuh alias tergesa-gesa yang tidak jelas alasannya. Tidak pelak, ada kecurigaan penguasa saat ini ingin bisa cawe-cawe dalam Pilkada 2024. Bahwa mungkin setelah berhitung selama beberapa bulan belakangan, baru terpikirkan celah-celah yang hanya bisa dikapitalisasi ketika pemerintahan belum berganti.

Tentu kita tidak ingin percepatan pilkada ini menimbulkan kegaduhan baru. Pemerintah harus menjelaskan dengan gamblang alasan kemendesakan untuk menyelenggarakan pilkada lebih cepat. Jangan sampai muncul kecurigaan percepatan Pilkada menjadi September karena Presiden Jokowi masih berkuasa, sehingga masih memiliki pengaruh andaikan ada calon tertentu yang berlaga pada Pilkada. Jadi, wajar ada kecurigaan publik seperti itu dibalik percepatan Pilkada pada September. Alhasil, perlu alasan yang masuk akal kenapa Pilkada perlu dimajukan lebih cepat.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Anggie Meidyana)