26 September 2023 22:13
Kaesang Pangarep mungkin satu-satunya politikus yang kariernya paling moncer di negeri ini. Betapa tidak, putra bungsu Presiden Joko Widodo itu langsung ditunjuk sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hanya selang sehari setelah menjadi anggota partai tersebut. Padahal, sebelumnya, anak muda berusia 28 tahun itu hanyalah seorang pengusaha kuliner dan belum pernah punya pengalaman di bidang politik.
Bandingkan, misalnya, dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah bertarung di Pilkada DKI pada 2017, sebelum akhirnya terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat untuk menggantikan ayahnya pada 2020. Jika dibandingkan AHY, ‘prestasi’ Kaesang lebih ‘hebat’ karena partai yang dipimpinnya bukanlah partai milik sang ayah. Ia boleh dibilang pendatang baru di PSI.
Namun justru inilah yang justru membuat publik jadi bertanya-tanya mengapa PSI mendapuk dia sebagai ketua umum menggantikan Giring Ganesha. Apa mereka tidak punya kader lain yang lebih mumpuni atau ini hanya sekadar ingin mendompleng popularitas Jokowi untuk mendongkrak kursi pada Pemilu 2024?
Ditunjuknya Kaesang sebagai ketua umum PSI semakin memberi kesan buruknya budaya politik di Indonesia, terutama kegagalan dalam menciptakan meritokrasi di tubuh partai politik yang menuntut kapasitas atau kemampuan individu, bukan pada kelas sosial, nepotisme, dan sebagainya.
Pertanyaan lainnya yang juga mengusik publik, mengapa pula Jokowi merestui putra bungsunya itu bergabung ke PSI bukannya ke PDIP yang notabene merupakan partai yang mengusungnya sebagai presiden? Tidak salah jika ada sebagian pengamat menilai hubungan Jokowi dengan PDIP sedang kurang mesra. Apalagi publik pun tahu Jokowi belakangan lebih akrab dengan Prabowo Subianto, capres yang juga didukung PSI. Apa ini juga ada campur tangan atau cawe-cawe Sang Presiden?
Keputusan seseorang untuk bergabung dengan partai politik A atau B, memang merupakan hak pribadi setiap individu. Tidak ada satu pun aturan yang melarang. Namun, setiap parpol tentu harus punya mekanisme untuk menjaring keanggotaannya, entah itu sekadar simpatisan, anggota biasa, kader atau pun anggota kehormatan, apalagi untuk menjadi seorang ketua umum.
Minimal ada kriteria-kriteria maupun prasarat tertentu yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Mekanisme semacam ini penting, agar anggota parpol lebih berkualitas dan memiliki integritas. Hal ini hanya dapat ditumbuhkan melalui tempaan pendidikan politik di tubuh parpol. Tidak bisa sim salabim.
Mengelola parpol tidak bisa main-main. Apalagi ia memiliki peran penting dalam sebuah negara demokrasi. Parpol adalah pilar demokrasi sekaligus wadah untuk menyalurkan aspirasi, tidak hanya bagi anggotanya tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Fungsi lainnya, ia juga dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat.
Minimal parpol harus dapat menjadi contoh bagaimana mengelola organisasi secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Mengelola parpol mesti serius dan professional, karena ia lebih dari sekadar Karang Taruna.