Jakarta: Program Makan Bergizi Gratis yang menjadi salah satu program unggulan pasangan Prabowo-Gibran menghadapi berbagai tantangan, termasuk masalah korupsi dan infrastruktur. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dwi Andreas Santosa, menyebut bahwa pengelolaan program ini bukanlah perkara sederhana dan membutuhkan persiapan yang matang.
"Kalau di luar negeri, program ini dikenal sebagai school meal program dan sudah ada 418 juta siswa yang mendapatkan makan siang gratis. Sebenarnya ada dua model: yang satu gratis, dan yang kedua subsidi. Di negara maju, biasanya yang berlaku adalah subsidi," jelas Dwi dalam Program Zona Bisnis, Metro TV, Rabu, 21 Agustus 2024.
“Namun, di negara miskin, hanya sekitar 13% siswa yang mendapatkan program tersebut. Sebaliknya, di negara maju, sekitar 61% siswa memperoleh makan siang dengan subsidi, bukan gratis. Penetrasi penerimaannya berbeda jauh,” kata Dwi.
Menurut Dwi, makan siang gratis harus dikemas sedemikian rupa agar benar-benar sampai kepada yang memerlukan. "Bukan semua siswa mendapatkan makan siang gratis, karena di negara-negara lain tidak seperti itu. Jika diterapkan dengan tepat, dana yang tidak begitu banyak bisa diefisiensikan," imbuhnya.
Kondisi Infrastruktur Daerah Jadi Hambatan
Selain itu, Dwi juga menyoroti persoalan infrastruktur daerah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan program ini. "Tentu kita akan terkendala dengan masalah infrastruktur. Tapi dari segi maksud, arahnya sudah benar, yaitu agar yang menerima makanan bergizi gratis adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Faktor infrastruktur ini akan menjadi kendala karena harga pangan di setiap wilayah bisa berbeda-beda," katanya.
Produksi pangan yang terbatas di beberapa wilayah, terutama di luar Jawa, juga menjadi tantangan. "Jika semua daerah mengandalkan beras, harga beras di luar Jawa relatif tinggi, kecuali di Sulawesi mungkin tidak. Tapi di Papua dan Kalimantan, misalnya, harga beras relatif tinggi," ujar Dwi.
Meskipun demikian, Dwi mengakui bahwa program ini dapat memicu peningkatan lapangan kerja. "Jika kita melihat studi yang dilakukan oleh World Food Program, setiap 100 ribu siswa yang diberi makan gratis akan menciptakan sekitar 1.000 - 2.000 lapangan kerja. Jika program ini benar-benar dilaksanakan untuk 70 juta siswa, berarti akan tercipta sekitar 1 hingga 1,5 juta lapangan kerja," jelasnya.
Dwi juga menekankan pentingnya pemberdayaan wilayah dalam pelaksanaan program ini. "Kita sangat berharap program ini bisa mendorong lokalitas dan memajukan produksi pangan lokal," ujar Dwi.
Dwi juga menegaskan pentingnya mempertimbangkan faktor ketahanan pangan di setiap wilayah Indonesa. "Ada empat parameter dalam ketahanan pangan: ketersediaan pangan, aksesibilitas, keamanan pangan, dan sumber daya serta resiliensi. Ketersediaan pangan perlu dikaji dengan seksama untuk memastikan apakah suatu wilayah dalam kondisi defisit pangan atau tidak," paparnya.
Selain itu, aksesibilitas pangan juga harus diperhatikan, terutama terkait infrastruktur dan kemampuan masyarakat untuk membeli pangan. "Faktor ketiga adalah keamanan pangan. Program ini tidak boleh menimbulkan bencana terkait keamanan pangan, karena itu menyangkut penyimpanan dan pengelolaan pangan," pungkasnya