NEWSTICKER

Jokowi Menjadi Pembisik

N/A • 15 May 2023 22:08

Sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, manakah yang seharusnya lebih didengar, suara rakyat atau suara relawan yang notabene ialah pendukung setianya ketika dahulu ia terpilih jadi presiden? Dalam teori atau rujukan mana pun tentang demokrasi, jawabannya jelas: suara rakyat yang harus didengar.

Selama jabatan sebagai presiden masih melekat, selama itu pula ia harus menjalankan tugasnya sebagai pengayom seluruh rakyat. Sungguh tidak elok bila Presiden hanya mengayomi atau mendengar suara pendukungnya. Apalagi kalau itu dipertontonkan tanpa malu-malu di hadapan seluruh rakyat.

Sayangnya, tindakan yang kian menjauh dari etika politik semacam itulah yang kini semakin kerap kita saksikan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Demi ingin ikut menentukan pengganti dirinya dalam percaturan Pemilihan Presiden 2024 mendatang, Presiden tak lagi sekadar menghimpun dukungan dari partai politik koalisi pemerintah. Kini bahkan ia tak segan-segan menggalang relawan untuk tujuan politik tersebut.

Kehadiran Presiden dalam kegiatan bertajuk Musyawarah Rakyat (Musra) yang, katanya, diinisiasi para relawan Jokowi, ialah bukti betapa hasrat dia untuk terlibat dalam urusan Pemilihan Presiden 2024 sudah terlampau besar. Ia seakan tidak bisa menahan hasrat itu sampai rela menanggalkan etika politik yang seharusnya terus ia pegang teguh.

Keterlibatan atau cawe-cawe Presiden tak bisa lagi ditutup-tutupi. Di  acara Musra tersebut, Jokowi bahkan siap menjadi pembisik politik para relawan. Di hadapan relawan dan pendukungnya, ia mengaku akan memberikan bisikan kepada parpol-parpol terkait calon presiden yang direkomendasikan relawan, selanjutnya ia juga akan membisiki relawan perihal hasil bisikannya kepada parpol.

Kembali ke pertanyaan awal, patutkah Presiden menjadi tukang bisik hanya untuk kepentingan sekelompok relawan? Bukankah sebaliknya, bisikan dari seluruh rakyatlah yang semestinya dia dengar dan akomodasi? Kalau ia hanya menjadi pembisik bagi relawan, sesungguhnya ia sedang mendegradasikan posisinya sebagai kepala negara.

Jokowi sepertinya juga lupa, dengan kedudukannya sebagai presiden, ia punya segenap sumber daya dan kekuatan negara. Kekuatan itu seharusnya dimaksimalkan untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan bangsa yang sampai hari ini, harus diakui, masih menggunung. Mulai isu-isu kerakyatan, ekonomi, hukum, hingga persoalan ketidakadilan sosial yang masih dirasakan sebagian masyarakat Indonesia.

Pendeknya, pekerjaan rumah Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden yang masa jabatannya tinggal sekitar 1,5 tahun lagi, masih sangat banyak. Harus fokus untuk bisa menyelesaikannya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, ia kerap menggunakan kekuatan dan sumber daya negara untuk memobilisasi orang, menggalang koalisi demi tujuan politik kelompok, bukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa.

Kalau itu terus-menerus dilakukan, kiranya tidak salah pendapat yang menyebut apa yang dilakukan Presiden itu sudah mengarah pada abuse of power. Tindakan seperti itu amat berpotensi merusak sistem ketatanegaraan sekaligus memundurkan demokrasi.

Sumber: Media Indonesia
(Luthfia Maharani Trianti)