Sektor Pajak Butuh Digebrak

26 May 2025 09:00

Perombakan besar-besaran di jajaran Kementerian Keuangan, terutama dengan diangkatnya direktur jenderal pajak dan direktur jenderal bea cukai yang baru, menjadi langkah penting di tengah tantangan fiskal yang luar biasa pada 2025. Penting karena pada situasi fiskal yang sulit tersebut, para pejabat baru tersebut diberikan target yang tidak main-main besarnya.

Di sisi penerimaan negara dari sektor pajak, tahun ini pemerintah menargetkan pencapaian sebesar Rp2.183,9 triliun. Sedangkan dari sisi rasio perpajakan (tax ratio atau perbandingan antara total penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB), Presiden Prabowo Subianto mematok target 23% pada 2029 mendatang.

Persoalannya, modal untuk menggapai target besar tersebut tidak cukup bagus. Pada 2024 lalu, penerimaan pajak bahkan mengalami shortfall (penurunan dari target) lebih dari Rp50 triliun. Pada tahun lalu, penerimaan pajak ditarget sebesar Rp1.988,9 triliun, tapi hanya terealisasi Rp1.932,4 triliun.

Begitu pula ketika kita bicara tax ratio, trennya juga menurun. Pada 2023, tax ratio Indonesia tercatat 10,31%, tapi pada 2024 turun menjadi 10,08%. Rata-rata rasio perpajakan kita dalam satu dekade juga tak banyak beranjak dari kisaran 11%. Angka tersebut tidak cukup bagus karena lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata negara maju yang rasio pajaknya sekitar 24?n negara berpendapatan menengah yang berkisar 16%-18%.
 

Baca: Populer Ekonomi: Pelantikan Dirjen Pajak dan Bea Cukai Baru hingga Danantara Motor Investasi

Kita sepakat bahwa penggantian pejabat yang mengampu soal perpajakan memang mesti dilakukan sebagai ikhtiar untuk membalikkan keadaan saat ini yang seperti digambarkan oleh angka-angka tadi, sangat tidak ideal. Terutama tidak ideal untuk menyokong target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% di ujung pemerintahan ini nanti pada 2029.

Penyegaran di pucuk pimpinan direktorat jenderal yang mengurusi pajak dan bea cukai, paling tidak akan memunculkan potensi kinerja yang lebih kinclong, meskipun kemungkinan untuk terjadi hal yang lebih buruk juga bukan sama sekali hilang. 'Reshuffle' di jajaran pejabat eselon 1 merupakan pilihan realistis ketika performa direktoratnya tidak berkembang, stagnan, bahkan turun.

Karena itu, sosok-sosok yang muncul sebagai pengganti harus jaminan mutu. Harus ada garansi bahwa mereka punya kualitas, kapabilitas, juga integritas yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya. Ini menjadi syarat mutlak karena permasalahan di sektor perpajakan begitu kompleks, tak bisa dihadapi dengan cara biasa-biasa saja. Sektor pajak harus digebrak, maka pemimpinnya juga mesti berotak dan berhati tegak.

Sesungguhnya, problem di sektor pajak masih berkutat pada persoalan-persoalan lama. Masih banyak kebocoran akibat praktik patgulipat atau hengki pengki yang dilakukan aparat pajak; ketidakpastian aturan; ketidakpatuhan wajib pajak, baik masyarakat maupun dunia usaha; serta fakta struktur ekonomi kita hari ini yang terlalu disangga sektor informal sehingga memunculkan shadow economy, adalah persoalan-persoalan yang terus menghambat optimalisasi penghimpunan penerimaan negara.

Butuh strategi terobosan yang bernas untuk 'membirukan' rapor sektor pajak. Reformasi perpajakan tak boleh hanya digaungkan tapi mesti diimplementasikan. Wacana yang dulu sempat menguat agar pemerintah melakukan penyisiran objek pajak yang terlewat dahulu sebelum melahirkan target dan kebijakan baru terkait perpajakan, layak diikhtiarkan.

Hal itu diyakini akan mampu menaikkan rasio pajak apabila setelah itu diikuti dengan strategi dan kebijakan lanjutan yang fokus pada penyelesaian masalah. Kebijakan yang berpijak pada mitigasi persoalan, bukan kebijakan yang asal geber demi meraup penerimaan pajak yang sebesar-besarnya. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Diva Rabiah)