Panggung Demokrasi - Pers Dibungkam, Demokrasi Terancam

21 May 2024 06:50

Revisi undang-undang penyiaran mendapat sorotan tajam karena sejumlah pasal yang membuat kebebasan pers menjadi terancam. Revisi ini dikhawatirkan menjadi alat kekuasaan untuk membungkam media, yang berujung menjadi ancaman bagi fondasi berdemokrasi.

Jagat pers dibuat tercengang dengan beredarnya draf RUU Penyiaran, yang memuan sejumlah pasal kontroversi yang dikhawatirkan akan membungkam kemerdekaan pers, bahkan mengancam kerja-kerja urnalis dan insan pers di Tanah Air. 

Setelah ramai mendapat kecaman dari kalangan pers, Komisi 1 DPR mengklaim tidak ada niatan dari pemerintah atau DPR untuk memberangus kebebasan pers melalui undang-undang penyiaran.

Draf itu memuat sejumlah pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ada upaya membedakan antara produk jurnalistik media massa konvensional dan media berbasis frekuensi telekomunikasi. Padahal, UU Pers tidak membedakan platform media massa yang ada.

Lalu, ada pasal dalam draf yang menyebutkan mediasi sengketa produk jurnalistik media penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Padahal, penyelesaian seperti itu hanya dimungkinkan untuk siaran selain berita. Selain itu, UU Pers menegaskan bahwa sengketa produk jurnalistik, apa pun platformnya, diselesaikan di Dewan Pers.

Yang paling utama jadi sorotan dan kritikan dari draf revisi UU Penyiaran ialah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dari draf yang beredar di masyarakat, semangat pembungkaman itu tertangkap jelas pada Pasal 56 Ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran. Pada poin C dijelaskan larangan itu mencakup 'penayangan eksklusif jurnalistik investigasi'. 

Inilah pasal mematikan bagi ruang kritik dan kontrol pers pun bila draf itu berakhir menjadi beleid yang disetujui. Dalam ekosistem jurnalistik, jurnalisme investigasi ialah salah satu nyawa yang tidak boleh hilang atau dihilangkan. Tanpa jurnalisme investigasi, ruang informasi publik hanya akan diisi oleh laporan-laporan fakta yang ada di permukaan. 

Hakikat demokrasi ialah terwujudnya check and balance. Kekuasaan tidak boleh dibiarkan melenggang dengan cek kosong tanpa ada pengawasan. Pada titik itulah, jurnalisme investigatif menjadi alat pengawasan bagi jalannya kekuasaan agar tidak tercebur menjadi kekuasaan absolut, yang pada gilirannya membuat kekuasaan itu bakal korup secara absolut pula.

Kondisi seperti itu amat berbahaya bagi publik, karena tidak ada ruang untuk membongkar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ini artinya, bukan hanya pers yang dibungkam, melainkan juga suara masyarakat sipil.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Nopita Dewi)