Ibarat pertandingan sepak bola, kemampuan tim dalam mengolah si kulit bundar hingga menyarangkan bola ke gawang lawan, sangat menentukan kemenangan. Begitu pula dalam arena pemilihan presiden, selain kekuatan pesona calon presiden dan calon wakil presiden, faktor lain yang menciptakan keberhasilan dalam kontestasi adalah keberadaan tim sukses dalam menyiapkan strategi pemenangan.
Sejumlah partai politik yang sejauh ini mendukung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden telah mengungkapkan sejumlah nama yang akan menjadi tim pemenangan pada 2024.
Meski belum menyebut pasangan Ganjar sebagai bakal calon wakil presiden, para elite tertinggi empat parpol menunjuk Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid yang akan memimpin tim pemenangan mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut. Lalu, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Andika Perkasa dan mantan Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komjen (Purn) Gatot Eddy Pramono sebagai wakil ketua tim.
PDIP juga telah mengumumkan ada lebih dari 1.000 organ relawan yang mendaftarkan diri selaku pendukung Ganjar Pranowo.
Di sisi lain, parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju pengusung Prabowo Subianto masih menggodok mengenai tim kampanyenya. Prabowo juga belum memiliki calon pendamping untuk bisa maju dalam Pilpres 2024.
Sedangkan parpol yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) beserta Anies Baswedan yang sudah berpasangan dengan Muhaimin Iskandar juga telah menyepakati tim pemenangan Koalisi Perubahan.
Di antara tim pemenangan itu, mereka sepakat menunjuk mantan Jaksa Agung M Prasetyo dan mantan jaksa Edwin P Situmorang sebagai dewan pengarah tim hukum. Lebih dari 1.000 advokat telah mendaftar untuk bergabung dengan tim itu.
Anggota Tim Delapan Koalisi Perubahan KPP Willy Aditya mengibaratkan tim pemenangan pasangan Amin dengan istilah false nine yang ada di sepak bola. Sehingga, semua bisa mengatur ruang, menciptakan peluang, sekaligus menjadi striker untuk mengegolkan pasangan Anies-Muhaimin.
Tim kampanye akan menjadi orang dekat bakal calon presiden. Mereka menyusun dan menjalankan strategi cara memenangi pemilihan. Di rezim pemilihan secara langsung pada hakikatnya adalah memilih citra kandidat. Peran partai politik justru sebatas sebagai syarat pengajuan calon. Sehingga, tim sukses akan menjadi pihak yang lebih berperan dalam upaya menciptakan citra para kandidat yang sesuai dengan keinginan publik.
Para tim kampanye juga akan menentukan indah dan mulusnya permainan politik. Bagaimana melancarkan strategi serangan politik secara elegan meski menohok bagi pihak lawan. Mereka juga akan menerima kenyataan atas hasil pemilu dengan lapang dada meski menyakitkan hati.
Siap menang dan siap kalah bukan sekadar slogan. Tidak menerima hasil pemilu akan diwujudkan berupa gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, ada juga permainan akal bulus dalam pertarungan politik. Mereka akan gencar melangsungkan serangan seperti black campaign, politik uang, atau distribusi kabar hoaks.
Tim sukses yang mengedepankan akal bulus juga dengan berat hati menerima hasil pemilu. Mereka akan memanas-manasi bahwa terjadi kecurangan pemilu tanpa data maupun fakta untuk menggerakkan massa.
Di sisi lain, tim sukses pasangan pemenang juga banyak yang meraih karir politik cemerlang. Seakan menjadi reward atas komitmen dan hasil kerja mereka selama pemilihan.
Semisal, mendiang Tjahjo Kumolo yang mengetuai tim pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014. Setelah pemilihan dia ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri. Selain itu, Anies Baswedan yang menjadi juru bicara tim kampanye kemudian sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Karir cemerlang para tim sukses tentu bukan karena akal bulus. Mereka tentu dipandang sebagai orang yang dipercaya oleh presiden terpilih. Presiden terpilih tentu telah melihat dan mengalami kapasitas dan kapabilitas para orang dekatnya tersebut. Mereka berhasil mengantarkan kandidat ke kursi kekuasaan tanpa akal bulus.
Pemilu adalah ajang konflik politik yang terlembaga. Di momentum pemilu lah terbuka peluang bagi pihak-pihak yang berbeda posisi untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan secara sahih.
Di era modern, tentunya publik berharap pergantian atau keberlangsungan kekuasaan bisa berlangsung secara riang dan beradab. Apalagi, di Indonesia kerap mengibaratkan pemilu sebagai pesta demokrasi. Namanya pesta, seyogianyalah berlangsung secara meriah dan menyenangkan.