Berebut Empat Pulau

16 June 2025 08:21

Perebutan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara  (Sumut) belakangan menyesaki ruang informasi publik. Polemik tentang provinsi mana yang memiliki Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, itu mengemuka kembali pascaterbitnya Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
 
Kepmendagri yang ditetapkan pada 25 April 2025 itu sekaligus mengukuhkan keempat pulau sebagai wilayah Sumut. Pemerintah Provinsi Aceh merasa keputusan tersebut sepihak sekaligus menyalahi hak kepemilikan Aceh terhadap keempat pulau sesuai kesepakatan bersama pada 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut.
 
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), mengamini bahwa Aceh lah pemilik keempat pulau tersebut. Hal itu berawal dari kesepakatan perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki pada 2005.
 
JK yang menjadi tokoh sentral dalam integrasi GAM ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu mengungkapkan, dalam perundingan di Helsinki  disepakati perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumut yang diteken Presiden Soekarno. UU tersebut menjadikan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom, terpisah dari Sumut.
 

Baca: Mendagri Panggil Gubernur Aceh dan Sumut Bahas Sengketa 4 Pulau pada 17 Juni
 
Di sisi lain, Kemendagri mengatakan sengketa kewilayahan keempat pulau terus berulang dan menjadi polemik selama lebih dari dua dekade. Menurut Kemendagri, baik Sumut maupun Aceh, sudah bersepakat untuk menyerahkan keputusan kepada Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Keputusan itu menjadi acuan Kepmendagri 2022 yang sudah terlebih dahulu mengukuhkan Sumut pemilik empat pulau yang disebut-sebut memiliki potensi besar cadangan migas.
 
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri Safrizal ZA mengakui Kemendagri baru mengetahui ihwal kesepakatan 1992 setelah Kepemendagri 2022 terbit. Di sini ada keanehan, mengapa Kemendagri masih saja mengabaikan kesepakatan 1992 dengan merilis keputusan terbaru 2025.
 
Sahut-menyahut salingberadu argumentasi tidak akan menyelesaikan masalah. Pun, ketegangan antarprovinsi tidak boleh dibiarkan berlaru-larut karena dapat memicu disintegrasi. Selama polemik bergulir, ada saja isu-isu provokatif yang membuat situasi makin panas.
 
Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus cepat menengahi. Rencananya, Presiden Prabowo Subianto yang akan turun tangan untuk menyelesaikan sengketa wilayah keempat pulau.
 
Intervensi Kepala Negara seusungguhnya amat disayangkan. Mestinya, mediasi sengketa antarprovinsi dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Akan tetapi, terbitnya Kepmendagri yang mengakui kepemilikan oleh Sumut membuat posisi Mendagri Tito Karnavian tidak lagi berada di tengah. Terlebih, protes Pemprov Aceh mengesankan penyusunan Kepmendagri tersebut tidak melibatkan provinsi yang bersangkutan.
 
Hal yang patut kita apresiasi, sebelum sampai ke Presiden Prabowo, Kemendagri masih berupaya memediasi lewat ruang dialog dengan kedua provinsi bersama Tim Rupabumi. Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumut menyambutnya. Mereka bersedia duduk bersama di Jakarta pada pertemuan yang dijadwalkan berlangsung Rabu (18/6) mendatang.
 
Kita dorong agar sengketa atas empat pulau itu memperoleh solusi yang cepat, adil, dan bermartabat. Tujuannya agar tidak berkembang menjadi hal-hal negatif dan jadi alat provokasi pihak-pihak yang tidak menghendaki perdamaian.
 
Kita ingatkan pula agar para pembantu presiden menghindari berbuat gaduh lewat blunder-blunder kebijakan maupun pernyataan. Tugas mereka adalah membantu, bukan malah menambah beban di pundak presiden. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Diva Rabiah)