Sekitar hari kedelapan bulan keempat kalender Imlek setiap tahun, Cheung Chau, sebuah pulau terpencil di Hong Kong akan menggelar festival selama lima hari berturut-turut. Festival Cheung Chau Bun merupakan warisan budaya takbenda nasional Tiongkok, dengan pawai Piu Sik sebagai puncak acara.
Tradisi yang telah ada sejak era Dinasti Qing tersebut selalu menarik banyak pengunjung setiap tahunnya. Pawai Piu Sik tahun ini akan digelar pada 26 Mei, yakni Hari Ulang Tahun Buddha. Para master Piu Sik telah bersiap memeriahkan festival tersebut.
Piu Sik berasal dari bahasa Kanton, “Piu” berarti tidak menapak tanah, dan “Sik” mengacu pada dandanan yang detail dan cerdas. Kegiatan ini merupakan kesenian rakyat tradisional yang menggabungkan drama, sulap, akrobat, musik dan tarian di bagian selatan Tiongkok. Dalam pawai yang mengadopsi panggung tiga dimensi tersebut, seorang master akan mendorong atau membawa panggung yang dihias dengan mewah, dan di atasnya ada anak-anak yang memerankan berbagai karakter.
Desain panggung yang istimewa membuat anak-anak di atas papan tampak seakan melayang di udara, panggung tersebut bergerak naik turun selama prosesi berlangsung, sementara kostum yang dikenakan anak-anak berkibar-kibar.
Pada 26 Mei 2023, pawai Piu Sik yang sempat ditangguhkan selama 3 tahun akibat pandemi, akhirnya kembali digelar di Pulau Cheung Chau, Hong Kong. Tema pawai tahun ini juga merefleksikan berbagai peristiwa terkini, serta harapan bagi pemulihan masyarakat Hong Kong.
Piu Sik yang berkualitas memerlukan kepandaian dan ketangkasan yang tidak hanya menjadi persyaratan dalam memilih para pemain, tapi juga menjadi ujian bagi para pembuat peralatan yang digunakan dalam Piu Sik. Penyangga baja di atas panggung tidak hanya berfungsi sebagai penopang beban dan pendukung, melainkan juga menyatukan kecerdikan karakter dan tema warna-warni yang mengambang, serta struktur baja yang disembunyikan secara cerdik dalam kostum karakter.
Bagi penduduk Cheung Chau, Festival Bun yang telah diwariskan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun, tidak hanya menjadi simbol kerinduan mereka akan kampung halaman, tapi juga simbol harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.